Manipulasi Demokrasi Politik Dalam Pilkada Wujud Nyata Sebuah Kekerasan
Oleh: Ahmad Rifai Abun
Dosen Filsafat Politik UIN Raden Fatah dan Pemerhati Demokrasi Pilkada Sumatera Selatan
Kalau tidak ada aral melintang, tanggal 27 November 2024, pemilihan Guberbur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan wakil Walikota, sebagai wujud dari pesta demokrasi, akan digelar di beberapa wilayah Indonesia, yang masa pendaptarannya dimulai akan dimulai dari tanggal 27 s/d 29 Agustus 2024 bulan mendatang.
Pemilihan itu juga akan diikuti oleh Provinsi Sumatera Selatan, untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, juga kabupaten dan kota untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Untuk memenuhi perhelatan ini, sudah muncul beberapa kandidat baik calon petahana maupun calon yang baru dimunculkan oleh kalangan partai politik.
Seringkali terlupakan oleh masyarakat daerah dimana ketika pemilihan itu berlangsung, terutama di era sekarang ini telah muncul “trend manipulasi demokrasi politik” sebagai wujud nyata dari “kekerasan”. Sebab, trend “kekerasan” untuk saat ini tidak lagi berujud dalam bentuk kekerasan pisik seperti yang kita pahami selama ini. Akan tetapi, diranah politik “manipulasi demokrasi” juga dapat dimaknai sebagai sebuah tindakan “kekerasan”.
Untuk saat ini, manipulasi demokrasi politik tersebut telah bersemayam dalam kalangan politikus (elit partai dan simpatisannya) yang sebentar lagi akan ditularkan di masyarakat pemilih di wilayahnya masing-masing, dan pada saatnya nanti masuk dan merasuk ke dalam pikiran seseorang untuk membangun opini dan/atau membangkitkan perilaku tanpa disadari oleh orang tersebut bahwa hal itu merupakan pelanggaran. Keberhasilan manipulasi terletak dalam strategi diamnya dan penyembunyian maksud sesungguhnya.
Secara lebih jauh, manipulasi demokrasi dapat juga dikatakan sebagai kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif dan alat untuk mengalahkan resistensi. Dalam manipulasi, medialah yang memiliki peran sangat strategis. Seorang politisi cenderung bersembunyi dibalik kalimatkalimat kabur, kata-kata yang tidak pasti, untuk menghindar dari tuntutan penerapannya. Jacques Ellul dalam bukunya “Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes mengungkapkan bahwa “informasi adalah sarana propaganda”. Dengan informasi, pencitraan dibangun.
Pencitraan dibuat sesuai dengan aturan demagogi, yaitu menyesuaikan diri dengan apa yang diharapkan dan/atau yang ingin didengar pemirsa. Aktornya seringkali disebut dengan istilah “demagog” yaitu orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Ia adalah prototipe perayu massa. Orang yang berkecimpung dalam dunia politik (politikus) cenderung menjadi demagog. Sebab, ia mampu menyesuaikan dirinya dirinya dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan dan/atau memainkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam.
Demagog akan meyakinkan kepada masyarakat pemilihnya bahwa ia sangat peduli kemudian melakukan olah pikir dan seolah-olah sedang merasakan seperti apa yang sedang masyarakat rasakan. Ia tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat pendengarnya.
Oleh karena itu, demagogi mengandaikan kelenturan wacana. Kelenturan ini dibangun melalui khazanah politik yang ambigu supaya kata yang sama bisa ditafsirkan sesuai dengan harapan pendengarnya.
Peran demagog dalam sebuah pesta demokrasi sangat efektif untuk menggalang dukungan politik dari masyarakat dimana demagog itu berada, karena demagog mempunyai mekanisme yang khas, di antaranya:
Pertama, seorang demagogue selalu mencari kambing hitam atas segala masalah, sehingga kebencian terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkankembangkan, dipelihara bahkan diperdahsyat identitasnya.
Kedua, argumen yang menjadi senjata dalam demagogi biasanya menggunakan pendekatan yang dalam logika politik disebut dalil ad hominem (menyerang pribadi orang) dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian,
Ketiga, seorang demagogue sangat lihai membuat skematisasi dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan. Demagogi inilah yang kemudian memunculkan wacana kebencian terhadap pihak-pihak tertentu.
Kebencian dapat menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan. Munculnya kebencian masyarakat terhadap kelompok atau golongan tertentu (baca: paslon tertentu) akan mengakibatkan munculnya kekerasan massal.
Dalam kontek ini yang dikedepankan bukan lagi nilai-nilai moral melainkan egoisme sektoral kelompok maupun pribadi yang diliputi rasa dendam dan penuh kebencian. Dendam dan kebencian yang seringkali dilakukan oleh demagogue seringkali mengatasnamakan agama, ras dan komunitas tertentu. Kebencian yang dimunculkan tersebut dilihat dari perspektif sejarah bisa saja bermuara dari kebencian yang ada pada masa lalu.
Akibatnya, ketika kelompok ini menggunakan atas nama agama, maka agama yang sejatinya diharapkan mampu menjadi pengayom, pemberi rasa aman, penebar kedamaian di bumi, kini justru berubah menjadi api pemantik kebencian dan permusuhan di kalangan penganutnya.
Friedrich Nietzsche (1844-1900), salah seorang pembaharu filsafat teologi yang paling terkemuka akhir abad ke sembilan belas, melihat ada realitas yang mengerikan tentang apa yang disebut “agama” pada masanya. Kancah perang dan peran sebagai media untuk saling membenci banyak diprakarsai oleh operasionalisasi agama.
Agama tidak hadir sebagai sosok humanis dan menghargai kehidupan manusia. Nietzsche mengambil kesimpulan bahwa kesadaran historis yang plagiatiflah yang tertinggal dalam agama dan diimani jutaan orang. Selebihnya tidak ada. Agama telah berkarat. Gott ist tot, “Tuhan telah mati”, kata-kata yang paling populer darinya ketika memaknai gejala eksploitatif, holokos dan misoginis yang diperankan agama.
Demokrasi seharusnya tidak hanya diterapkan dalam bidang politik, melainkan harus di semua aspek kehidupan. Akan tetapi sangat disayangkan, proses demokrasi seringkali dipahami sekedar ritual proses pergantian pemimpin melalui pemilu. Oleh karena itu, tidak heran kalau kita melihat dalam bidang ekonomi, agama, sosial, dan budaya seringkali tidak dianggap sebagai bagian yang harus diikutsertakan dalam demokrasi.
Proses demokrasi yang seharusnya diiringi dengan transparansi, ternyata masih dijadikan ajang berlaku “bebas tak berbatas” oleh kalangan-kalangan tertentu. Doktrin agama yang seharusnya berada di samping demokrasi, ternyata tidak selalu menjadi “kawan”, akan tetapi sebaliknya, menjadi “lawan”. Berbagai permasalahan yang muncul dalam proses demokratisasi di Indonesia setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi para pemikir dan pelaku politik di Indonesia. Bagaimanapun, sesuatu yang baik, belum tentu menjadi baik apabila diterapkan pada wilayah yang belum dapat menerima dan menerapkan kebaikan tersebut.