11 Desember 2024

MAKA, LUPAKAN PUJIAN ….

Oleh Asro Kamal Rokan

SEORANG  sahabat, pemimpin perusahaan, merasa galau. Belakangan ini dia gampang tersinggung. Ketika beberapa karyawan berkumpul, dia merasa mereka sedang memperbincangkan dirinya. Ketika mereka tertawa, dia merasa mereka menertawakan dirinya.

Kebiasaannya membuka membaca pesan atau artikel hikmah di telepon genggam yang dikirim teman-temannya, kini sudah ditinggalkannya.

Padahal dahulu, dia rajin merespons cerita-cerita lucu dari teman-temannya. Bahkan, terkadang dia sendiri yang mengirim artikel-artikel ke teman-temannya.

Ruang kerjanya kini sepi dari lagu-lagu cinta Demis Roussos, Everly Brothers, juga Tom Jones, yang selalu diputar di laptopnya menemaninya kerja.

Dahulu, ketika Demis Roussos menyenandungkan lagu berjudul Goodbye, My Love, Goodby di laptopnya, sahabat itu ikut bernyanyi sebisanya.  Apalagi lagu Delilah, suaranya bisa parau mengikuti Tom Jones.

Ruang kerjanya juga selalu terbuka untuk staf, bahkan karyawan, mengadukan persoalan pekerjaan.

Kini, hanya beberapa staf tertentu, itu pun atas izinnya. Dia membatasi diri. Permintaan berteman di facebook, tidak lagi dipedulikannya.

Dia tak ingin lagi terhubung dengan teman-temannya.

Awalnya, sederhana. Dia kecewa ketika seorang sahabat mengirim  potongan puisi penyair sufi Jalaluddin Rumi di  facebook.

Isinya: Mari kita tinggalkan kekanak-kanakkan dan menuju ke kelompok manusia.

Sahabat yang mengirim catatan di facebook itu, sesungguhnya tidak bermaksud menyindirnya dan tidak pernah tahu situasi hati sahabatnya itu.

Pesan itu untuk semua orang, sebagai renungan. Namun, dia merasa tersindir dan karena itu dia marah.

Dia membalas catatan itu: Apa kamu pikir saya kekanak-kanakkan dan bukan manusia?!

Bukan puisi Rumi itu yang membuatnya marah, melainkan hatinya sedang gelisah.

Dua pekan lalu, dalam pertemuan dengan karyawan, ada yang mengkritik kinerjanya secara terbuka.

Dia juga medengar sayup-sayup soal ketidakpuasan karyawan, soal kesejahteraan, dan kepemimpinannya yang dianggap lemah.

Dalam situasi demikian, kata-kata bijak pun dapat dianggap sebagai penghinaan. Senyum tulus dianggap sebagai ejekan.

Sebaliknya, racun yang disajikan dengan cawan pujian, dinilai sebagai hadiah tak terkira.

Ada saatnya, orang kehilangan pegangan dan terseret ke tempat yang menurutnya indah, namun sesungguhnya jebakan.

Dan, dia menikmatinya, seperti aktor dalam gemuruh tepuk tangan setelah itu kembali ke dunia nyata.

Seorang pemimpin — dalam tingkat apa pun — ada kalanya terjebak dalam kesepian. Dia merasa telah melakukan banyak hal untuk kebaikan bersama, banyak prestasi, namun tetap saja dikritik.

Dia merasa telah mencurahkan semua kemampuan, waktu, dan perasaan, namun tetap saja dianggap dicela.

Pada situasi seperti itu —karena tekanan perasaan dan merasa tidak diapresiasi, para pemimpin berharap air dalam dahaganya. Air itu adalah pujian. Dia merasa lebih berarti dalam rimbun pujian meski itu racun dan mematikan.

Dia lebih suka dan bahkan sangat percaya kepada orang-orang yang memujinya. Sejak itu, dia dikelilingi orang-orang yang suka memujinya.

Mereka mendapatkan banyak hal dari pujian yang dihamburkan itu, sedangkan sahabat tersebut tanpa menyadari sedang meneguk racun dalam cawan emas.

Dia kehilangan rasionalitas; dan menganggap setiap orang yang mengkritik adalah musuh nyata yang harus disingkirkan.

Wahai sahabat yang kesepian, racun tidak pernah di tempatkan di cawan yang kotor, melainkan di cawan yang indah, terbuat dari emas dan permata.

Namun seindah apa pun cawan itu, semahal apa pun, tidak lagi berarti apa-apa ketika isinya kau teguk.

Berhentilah melayang karena pujian, turunlah ke bumi nyata. Percayalah pada kehendak Allah, bukan kepada mereka yang suka memuji dan peramal yang hidup dari gelembung asap yang mudah sekali menguap.

Ketika gelembung itu pecah, percayalah mereka akan pergi. Kau akan sendiri.

Berhentilah meminum air laut pujian, kembalilah ke bumi, dan baca berkali-kali sampai masuk ke jiwa terdalam: Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah …  Tidak untuk manusia, siapa pun dia.

Senyum dan sapa kembali semua teman-temanmu yang tidak pernah minta apa-apa, bukan para penjilat yang pandai memotong lidah dan telinga.

Tenangkan dirimu, seperti mata bayi yang teduh dan tidak menyimpan sakwasangka.

Kini, lupakan semua pujian karena ia racun dalam cawan yang indah. Bacalah sebanyak-banyaknya dan masukkan ke dalam jiwamu sekuat kau bisa: Alhamdulillah, segala pujian hanya untuk Allah! (*/Sar)