4 Desember 2024
Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan/Pemerhati Sosial Politik)

MUHAIMIN Iskandar yang sering disapa Gus Imin atau Cak Imin, Ketua Umum DPP PKB, hari-hari ini menjadi sorotan. Itu terjadi setelah secara mengejutkan ia menerima pinangan menjadi bakal calon Wapres berpasangan dengan Anis Rasyid Baswedan, yang merupakan Bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Padahal hampir setahun ini Cak Imin lebih mesra dengan Prabowo Subianto, Bacapres dari Partai Gerindra. Bahkan keduanya sudah membentuk Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR).

Tapi itulah politik, perkembangannya sering kali detik per detik. Apalagi mayoritas petinggi partai dan pentolan politik di negeri ini, umumnya berkawan dekat. Bahkan ada yg berkawan sejak masih kuliah, atau di organisasi mahasiswa/pemuda. Kalaupun ada yg “sediaman” hanya sedikit, dan itu pun dari kalangan tua.

Saling mengenal sejak era mahasiswa, itu rupanya terjadi pada Muhaimin Iskandar dan Anis Baswedan. Tapi keduanya berada pada jalur yang berbeda, Muhaimin kuliah di Fisip UGM sedangkan Anis di Fakultas Ekonomi. Begitu pula di organisasi mahasiswa, Muhaimin aktif di PMII, sedang Anis berkiprah di HMI. Keduanya pun menonjol sejak masih menjadi mahasiswa tersebut.

Tapi kendati Cak Imin tergolong aktivis mahasiswa dan aktivis pemuda pada masanya. Saya termasuk orang yang tidak begitu perhatian terhadap Muhaimin. Saya lebih mengenal tokoh-tokoh muda lainnya yang berbasis organisasi di bawah NU. Diantaranya adalah Slamet Effendi Yusuf dan Ali Masykur Musa. Nama Muhaimin baru saya dengar ketika Abdurrahman Wahid menjadi Presiden. Mungkin hal ini terjadi karena keterbatasan saya, kendati saya juga pernah aktif di GMNI dan KNPI walau di daerah.

Tapi diam-diam saya sebetulnya cukup salut dengan Cak Imin, karena kendati dia mendapat tentangan dari berbagai rival politiknya, tapi Cak Imin tetap mampu membawa PKB sebagai partai yang selalu masuk 5 besar dalam Pemilu.

Berbagai trik dan strategi dilakukannya untuk membuat PKB tetap eksis dalam setiap Pemilu tersebut, diantaranya dengan menggandeng tokoh-tokoh tenar, seperti dia pernah rantang-runtung dengan Raja Dangdut Rhoma Irama berkeliling ke sejumlah daerah. Selain ia tetap membawa PKB selalu dekat dengan para kiai NU non struktural.

Atas kehadiran Cak Imin, timbul pertanyaan bagaimana peluang pasangan ini? Tentu masih akan diuji, tetapi kalau melihat perpaduan dan dukungan terhadap Anis – Muhaimin ( Amin), terlihat ada rasa optimisme.

Optimisme itu bukan sekedar harapan tanpa perhitungan. Namun ada kalkulasinya. Kita tahu bahwa Partai Nasdem dengan King maker, Bang Surya Paloh, dikenal sebagai partai yang nasional religius, dalam beberapa kali Pemilu tetap eksis kendati masih di papan tengah. Dengan didukung PKB, maka diyakini PKB tetap akan menjadi pilihan utama warga Nadliyin, sehingga kekuatan akan makin maksimal.

Belum lagi ditambah dukungan dari PKS yang dikenal sebagai partai yang konsisten berjuang dan concern untuk rakyat. PKS juga dikenal sebagai partai yang berisi kader-kader dari kalangan Islam modernis, yang banyak jaringan dengan kampus dan juga Ponpes. Dengan demikian jaringan umat Islam di luar NU dan Muhammadiyah, akan mampu digarap PKS. Di luar Parpol pengusung ini, ada Parpol pendukung, diantaranya Partai Ummat dengan tokoh utamanya Prof Amin Rais, yang masih cukup mengakar di warga Muhammadiyah.

Karena itu duet Anis-Muhaimin, dengan adanya faktor Cak Imin, maka suara Jawa Timur diyakini akan lebih kuat. Begitu juga suara di Jawa Tengah optimis akan naik. Sementara suara di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan DI Yogyakarta, kondisinya lebih optimistik, termasuk mayoritas daerah di luar Jawa. Tinggal apakah kejutan Cak Imin hanya terjadi di awal pencalonan, atau akan berlanjut juga di hasil Pilpres 2024 nanti. Karenanya menarik untuk diikuti. (ica)