Balada Bacapres Non Partai
Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan/Pemerhati Sosial Politik tinggal di Indralaya, Ogan Ilir, Sumsel)
INDONESIA banyak stok orang pandai yang pantas jadi pemimpin nasional (Presiden), tapi mayoritas tak muncul karena sistem politik yang dibangun saat ini, tidak berpihak kepada mereka. Untuk menjadi calon presiden (Capres) aturan yang dipakai harus mendapat dukungan Parpol atau gabungan Parpol minimal memiliki 20 persen kursi di DPR RI. Karena itu sehebat apapun dan sepintar apapun seseorang, kalau tidak mendapat dukungan politik seperti ketentuan presiden treshold tersebut, maka tidak mungkin bisa menjadi Capres.
Dengan sistem demikian, kalau diurutkan maka yang paling memiliki peluang untuk menjadi Capres adalah pimpinan utama partai, kader “terbaik” partai, atau orang luar yang didukung partai.
Salah satu orang luar partai yang mendapat dukungan untuk menjadi Bakal Calon Presiden (Bacapres) adalah Prof Dr H Anis Rasyid Baswedan (Anis Baswedan). Parpol pertama yang mendukungnya adalah Partai Nasdem yang diketuai Surya Paloh. Tentu dukungan Nasdem kepada Anis Baswedan karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu, dinilai menonjol dan sukses dalam kiprahnya saat menjadi gubernur.
Setelah Nasdem, kemudian sebagaimana kita ketahui, Partai Demokrat dan PKS menyusul memberi dukungan kepada Anis Baswedan, sehingga memenuhi syarat presiden treshold.
Tapi kendati telah memenuhi persyaratan untuk melenggang menjadi Capres, banyak ‘godaan’ dan ‘gangguan’ yang dihadapi Anis Baswedan. Diantara gangguan tersebut berlanjutnya kasasi Moeldoko untuk mengambil alih Partai Demokrat, serta godaan kepada PKS dari pihak-pihak lain yang berupaya memberi iming-iming biaya politik, jika PKS tidak bergabung ke koalisi Nasdem. Apalagi ditambah cawe-cawe dari Presiden Jokowi, yang secara benderang mengesankan tidak menyukai Anis Baswedan.
Namun ‘gangguan’ dan ‘godaan’ tersebut dapat di atasi, tapi ‘gangguan’ lain datang terhadap Nasdem sendiri, dengan diproses hukumnya kader utamanya yang menjabat Menkominfo, dan juga “diincarnya” kader yang memegang jabatan Mentan. Surya Paloh walau kelihatan tegar, tapi sebagai “orang dalam” pemerintahan era Presiden Jokowi, tahu persis effek dari sikap yang diambilnya tersebut.
Karenanya walau terkesan bersimpang-jalan dengan Jokowi, tapi Surya Paloh masih terlihat ada dan bisa berkomunikasi dengan Presiden Jokowi. Kita tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan dan rembukkan, tapi kelihatannya ada sisi yang keduanya terlihat ada persepsi yang sama.
Nah titik temu tersebut, kalau saya melihatnya, pada posisi teman koalisi dan posisi untuk Cawapres. Dalam kesepakatan tiga parpol (Nasdem, Demokrat, dan PKS) untuk Cawapres diserahkan kepada Anis Baswedan dengan dibantu oleh Tim 8 perwakilan ketiga Parpol plus perwakilan Anis.
Setelah menjajaki sana sini, dan kondisi politik yang kian ‘rawan’ bagi Anis Baswedan, terlihat AHY yang berkemungkinan kuat akan diajak Anis sebagai Cawapres. Tapi masalahnya selama era Presiden Jokowi, Partai Demokrat yang didalamnya ada SBY, bersikap oposisi. Sementara Nasdem adalah koalisi pendukung utama pemerintahan Jokowi. Disini menjadi titik rentan kalau Anis-AHY yang dipasangkan.
Kita tahu sejumlah Parpol terkesan masih dibawah pengaruh Presiden Jokowi. Selain karena ketua umumnya berposisi sebagai anggota kabinet, juga konon ada yang tersandera masalah krusial. Karena itu mayoritas Ketum Parpol masih bisa ‘dikendalikan’ atau setidaknya mendengar apa kata Presiden Jokowi. Sebut saja misalnya Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP. Dengan demikian skenario cawe-cawe Presiden Jokowi masih efektif menentukan Capres/Cawapres yang diinginkan.
Dalam situasi politik seperti ini, yang paling sulit menegakkan bendera adalah Bacapres seperti Anis Baswedan, karena tidak memiliki partai sendiri. Karenanya kalau masih ingin menjadi Capres, mau tidak mau Anis juga harus berhitung. Tentu hitungannya mencari atau memilih partai pendukung yang lebih lincah atau lebih mudah mencari kawan koalisi. Di tengah situasi saat ini, maka rasional kalau pilihannya adalah Partai Nasdem dengan Surya Paloh-nya. Risikonya tak bisa dihindari, ia akan dicap sebagai penghianat atau tak beretika, karena meninggalkan rekan koalisi lainnya yang sudah seiring-sejalan selama ini. Walaupun saya yakin tabiat Anis Baswedan pribadi, sesungguhnya tidaklah seperti itu. Tapi dalam politik memang pilihan rasional secara terpaksa atau tidak, harus dilakukan. Dan pilihan itu mungkin terasa menyakitkan bagi yang lain. Apalagi kalau mudah Baperan.