Bagaimana Jika Indonesia Diboikot Seperti Rusia?
Oleh : Laksamana Sukardi
Invasia Rusia terhadap Ukrania mendominasi konten media social dimana-mana. Beraneka ragam Analisa baik secara politis, akademis maupun anekdot telah menjadi perhatian warga dunia.
Saya ikut terbawa oleh emosi yang berkecamuk, berbaur antara perasaan kemanusiaan, politik dan perasaan nasionalisme saya sebagai bankgsa Indonesia.
Terbetik dalam pikiran saya sebuah pertanyaan hipotetis;”Bagaimana Jika Indonesia diboikot seperti Rusia?”
Saya membayangkan daya tahan pertahanan Indonesia (resilience) yang sangat rapuh ibarat kaca yang sangat tipis. Lho kenapa?
Urat nadi ekonomi Indonesia banyak tergantung dari kekuatan dari negara lain, sehingga dengan mudah darah dapat disetop dan dalam waktu singkat akan mati suri.
Salah satu factor ketergantungan adalah dibidang energi. Walaupun kita mengalami eforia terhadap kenaikan harga batu bara dan komoditas alam yang membuat Menteri keuangan sumringah karena pendapaatan negara bertambah.
Ekonomi kita sangat tergantung kepada “Si Hitam” atau minyak bumi yang pada saat ini, kita merupakan negara net importer minyak bumi. Karena konsumsi bahan bakar terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (kebutuhan nasional sebesar 1,6 juta barrel per hari), tetapi produksi minyak bumi mengalami stagnasi dan bahkan turun terus (produksi 800 ribu barrel per hari) maka dari kebutuhan minyak mentah Indonesia tekor sebanyak 800 ribu barrel per hari dan akan meningkat terus.
Karena bagian pemerintah dari produksi minyak hanya 60 persen, maka Indonesia harus mengimport Minyak mentah sebanyak 1,2 juta barrel per hari! Yang lebih parah lagi, jalur impor minyak tersebut semuanya disalurkan melalui Singapura.
Kalau kita tidak bersahabat dengan Amerika, maka dengan mudah supplai bahan bakar disetop oleh Saudi Arabia dan negara negara Timur Tengah sekutu Amerika walaupun kita sama sama memiliki penduduk beragama Islam, loyalitas negara timur Tengah akan lebih berpihak kepada Amerika ketimbang solidaritas keislaman.
Selain itu Singapura pun akan gentar jika Amerika memerintahkan untuk memboikot semua perdagangan minyak melaluiui pelabuhannya. Solidaritas Asean pun tidak akan luntur.
Paling banter kita bisa melawan balik dengan menyetop pengiriman Tenaga Kerja ke Sinagapura dan Arab Saudi.
Lalu berapa hari kita bisa tahan jika kondisi hipotetis ini diberlakukan? Semua tergantung apakah kita punya cadangan bahan bakar nasional yang selalu siap digunakan? Atau yang disebut Strategic Petroleum Reserve (PSR) yang dapat digunakan dalam keadaan kritis dan darurat.
Membangun SPR tergantung dari ketersediaan infrastruktur migas yang sangat jauh tertinggal dibandingkan konsumsi migas. Kondisi kilang minyak sudah tua dan secara teknologi sudah kadaluarsa. Pada saat ini kilang minyak nasional hanya dapat memproses BBM sebesar 700 ribu barrel per hari. KebutuhanBBM harus diimpor setiap hari.
Saat ini cadangan operasionil BBM milik Pertamina hanya bisa memenuhi kebutuhan BBM selama 22 hari! Itupun masih perlu diaudit berapa BBM dan berapa produk produk migas lainnya? Lalu SPR ini mau ditaruh dimana? Kapasitas penyimpanan tangki yang tersedia hanya mampu menyimpan kurang dari 4 hari!
Dari factor ketahanan energi yang rapuh ini, jika ada bencana atau perang diselat malaka atau secara hipotetis kita dikenakan sanksi internasional, maka dalam kurun waktu tidak lebih dari 5 hari Indonesia akan gelap gulita. Gedung Gedung, transportasi dan fasilitas fasilitas umum akan berhenti bekerja. Pesawat tempur dan tank yang kita miliki menjadi mubazir.
Titik lemah lainnya yang kita miliki adalah ketergantungan ekonomi terhadap modal asing sebagai konsekuensi pertumbuhan dan integrasi terhadap ekonomi global. Utamanya pada bursa efek atau Pasar Modal yang memiliki Pangsa Pasar kurang lebih 600 milyar dollar Amerika.
Perlu dicatat, kepemilikan domestik dari saham yang diperdagangkan (scripless) di Pasar modal Indonesia tidak melebihi 50 persen. Dana asing masih menguasai Pasar Modal Indonesia. Apalagi jika dilihat pada saham saham unggulan yang dikuasai investor asing kurang lebihsebesar 75 persen.
Perdagangan saham dan instrument obligasi (surat utang) ini semua tergantung dari penilaian kualitas resiko perusahaan dan resiko negara (country risk) yang dikeluarkan oleh Lembaga penilai (rating agencies) yang semuanya bermarkas di Amerika.
Jika mereka secara subyektif mengumumkan rating nya anjlok dan berresiko tinggi maka dalam waktu yang singkat Pasar modal akan ambruk, hutang negara dan hutang korporasi menjadi macet (default) dan semua mencari dollar dan emas sehingga nilai tukar rupiah akan anjlok. Ekonomi akan mengalami krisis luar biasa.
Komoditas bahan tambang dan minyak sawit tidak dapat terjual karena selain tidak ada pembeli, menyelundupkannya pun akan sulit karena perdagangan komoditas hanya tergantung dari Pelabuhan di Singapura.
Lalu bagaimana sikap dan antisipasi masyarakat Indonesia. Akankah nasionalisme menjadi semakin tinggi atau akan terjadi kerusuhan sosial, penjarahan dan lain sebagainya?
Karena ketimpangan ekonomi masih sangat besar, maka kerusuhan sosial merupakan reaksi yang wajar akan terjadi.
Orang orang kaya (High Networth Individual) akan segera pindah menjadi warga negara Singapura dan yang tertinggal di Indonesia adalah warga negara yang berpenghasilan rendah. Karena menurut Direktorat Jenderal Pajak, dari data tahu 2016 jumlah dana orang kaya Indonesia yang diparkir diluar negeri ada sekitar 250 milyar Dollar Amerika dan Sebagian besar atau 200 milyar dollar Amerika diparkir di Singapura. Dari jumlah tersebut ada sekitar 50 milyar Dollar Amerika ditanamkan dalam bentuk real estate dan asset lainnya.
Dana dan asset tersebut akan diblokir dan logikanya yang memiliki dana tersebut lebih baik pindah menjadi warga negara asing agar tetap selamat dan tetap memilikinya.
Tidak hanya itu, bahkan cadangan devisa nasional yang ada di bank luar negeri akan di blokir dan tidak dapat dimanfaatkan untuk apapun.
Dari segi ketahanan ekonomi nasional, jika pertanyaan hipotetis “Bagaimana jika kita diboikot seperti Rusia?” maka jawabannya adalah seperti bom dengan sumbu pendek, ekonomi Indonesia akan luluh lantak dalam sekejap.
Tulisan ini walaupun pertanyaannya bersifat hipotetis, tetapi kenyataan dari data yang kita miliki menggabarkan secara realitas bahwa ketahanan ekonomi kita sangat rapuh.
Pengorbanan jiwa para pejuang yang telah memerdekakan bangsa Indonesia memberikan sebuah warisan sangat berharga kepada kita, yaitu menjadi bangsa yang merdeka. Akan tetapi memiliki kemerdekaan yang sesungguhnya masih harus diperjuangkan Bersama.
Untuk membahas alternatif solusi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, ikuti tulisan saya yang akan datang. (*)