Kasus Fee Proyek Muara Enim, Bukti Konspirasi Oknum Pejabat Korup Masih Merajalela

Catatan Dahri Maulana |
Periode kepemimpinan Ahmad Yani – Juarsah (selaku Bupati dan Wakil Bupati Muara Enim masa bhakti 2018 – 2023), boleh jadi menjadi catatan terburuk dalam sejarah pemerintahan Kabupaten Maura Enim. Hanya dalam hitungan bulan setelah dilantik dan menjalankan roda pemerintahan, terungkap kasus korupsi dengan modus ‘mengatur’ lelang proyek APBD yang nilainya ratusan milyar. Tapi sepandai-pandai membungkus bangkai, sakali waktu pasti tercium juga.
Fakta itulah yang terjadi pada 2 September 2019 sekitar pukul 16:00 WIB. Di sebuah restoran di kota Palembang, Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan PPK di Dinas PUPR Muara Enim, Elfin Muhtar, melakukan pertemuan rahasia dengan Roby Okta Fahlefi, Direktur perusahaan kontraktor PT Enra Sari. Mereka tak sadar, pertemuan tersebut sudah dipantau oleh beberapa anggota KPK, yang sebelumnya sudah mendapatkan informasi dari masyarakat.
Satu jam kemudian, terlihat staf Roby Okta menyerahkan amplop besar kepada Elfin. Aparat KPK tak menyia-nyaiakan moment tersebut. Didampingi beberapa anggota kepolisian, mereka langsung menyergap dan melakukan tangkap tangan.
Ternyata benar, amplop warna coklat muda yang diserahkan kepada Elfin Muhtar berisi uang sejumlah USD 35 ribu.
Kemudian, secara paralel, sekitar pukul 17.31 WIB, tim KPK yang berada di Muara Enim, juga mengamankan Bupati Ahmad Yani, yang saat itu masih berada di kantornya. Tim KPK juga mengamankan beberapa dokumen di ruang kerja Ahmad Yani. Menyergapan serentak di dua tempat ini, akhirnya menjadi berita besar di banyak media online.
Malam itu juga tim penindakan KPK langsung membawa Elfin, Robi dan staffnya Edy Rahmadi ke Jakarta sekitar pukul 20.00 WIB. Disusul esok harinya, pada 3 September 2019 pukul 07.00 WIB Bupati Ahmad Yani diboyong pula ke Jakarta dan langsung ditahan di Rutan KPK.
Publik di Muara Enim tentu saja terkejut. Karena di saat kampanye pencalonannya menjadi Bupati Muara Enim, Ahmad Yani selalu mengatakan, jika ia terpilih akan mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi. Ia juga menjanjikan akan melaksanakan pemerintahan yang bersih tanpa korupsi. Bahkan setelah terpilih menjadi Bupati berpasangan dengan Juarsah, ia selalu mengimbau ASN di lingkungan Pemkab Muara Enim agar bekerja ihklas dan menghindari perbuatan kurupsi dan graftifikasi.
Tapi ternyata apa yang diucapkan, tak sama dengan perbuatan. Bahkan baru sekitar enam bulan menjabat ia pun ditangkap KPK karena kasus gratifikasi fee 16 proyek, yang memang sudah dirancang sejak awal anggarannya disahkan. Ironisnya, kasusnya juga melibatkan oknum wakil rakyat yang sejatinya bertugas mengawasi penggunaan uang APBD dari tangan-tangan kotor.
Ahmad Yani Diadili
Pada Desember 2019, Penyidik KPK merampungkan berkas penyidikan terhadap Ahmad Yani. Demikian pula berkas penyidikan Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan PPK di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin Muhtar.
Dalam merampungkan berkas keduanya, tim penyidik sudah memeriksa 62 orang saksi dari berbagai unsur, di antaranya Ketua DPRD Muara Enim, Wakil Bupati Muara Enim atau Plh Bupati Muara Enim, Tenaga Ahli Fraksi PAN DPR RI, Plt Kadis PUPR Kabupaten Muara Enim, Sekretaris Dinas PUPR, ajudan Bupati Muara Enim, notaris, swasta hingga pegawai honorer.
Hasil pemeriksaan para saksi tersebut, didapat bukti bahwa uang USD 350 ribu atau sekitar Rp 13,9 miliar dari Robi Okta yang hendak diserahkan melalui Elfin Muhtar, di salah satu restoran di Palembang, adalah untuk Bupati Ahmad Yani, agar perusahaan Robi Okta, PT Erna Sari, mendapatkan pekerjaan 16 proyek jalan di Muara Enim, yang total pagu anggarannya Rp 130 Miliar.
Robi yang bersedia memberikan commitment fee 10 persen tersebut, faktanya memang sudah ditetapkan sebagai pemenang lelang 16 paket proyek jalan tersebut.
Awal Januari 2020, Ahmad Yani mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Kelas II-A Palembang. Ahmad Yani ternyata tidak saja didakwa menerima USD 35 ribu, tapi juga menerima Rp 3 miliar serta 1 unit mobil pikap Tata Xenon HD dan 1 unit Lexus.
Dari persidangan ini juga berkembang pada penetapan tersangka-tersangka lainnya. Yang paling mencuat adalah penetapan tersangka atas nama Aries HB, yang saat itu menjabat Ketua DPRD Muara Enim. Kemudian menyusul Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Muara Enim, Ramlan Suryadi.
Pengembangan selanjutnya, mengarah kepada Juarsah yang baru sebulan dilantik menjadi Bupati Muara Enim Definitif, menggantikan Ahmad Yani. Ia juga ditetapkan sebagai tersangka atas kasus yang sama oleh penyidik KPK pada pada 16 Jaunari 2021. Ia pun diduga ikut menerima suap sebesar Rp 2,5 miliar
Ditahannya Juarsah, sempat membuat Kabupaten Muara Enim mengalami kekosongan kepemimpinan. Hal ini membuat Gubernur Sumsel Herman Deru menunjuk Nasrun Umar sebagai Pelaksana Harian (Plh) Bupati Muara Enim.
Juarsah, semasa menjabat Wakil Bupati dianggap memiliki peranan dalam konspirasi korupsi yang telah menjerat mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani dan mantan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB ini.
Ahmad Yani, pada sidang putusan awal Mei 2020 divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus suap proyek. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 2,1 miliar subsider 8 bulan. Sementara Robi Fahlefi divonis 3 tahun penjara.
Hakim menyatakan Ahmad Yani terbukti menerima suap sebanyak Rp 3 miliar dari kontraktor bernama Robi Okta Fahlevi terkait pengerjaan 16 paket proyek di Kabupaten Muara Enim senilai Rp 130 miliar.
Hakim menimbang hal yang memberatkan karena Ahmad Yani diangap tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dan sebagai Bupati tidak menjaga kepercayaan warganya. Sementara hal yang meringankan, ia masih mempunyai tanggungan keluarga.
Sedangkan terhadap Aries HB, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan. majelis hakim mengatakan, terdakwa terbukti telah menerima suap sebesar Rp 3,3 miliar. Selain itu, Aries juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 3,3 miliar.
Sementara itu, mantan Pelaksana tugas Kepala Dinas PUPR Muara Enim, Ramlan Suryadi divonis lebih ringan. Ia dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Ramlan dinilai terbukti ikut menerima suap Rp 1,1 miliar terkait penerimaan fee proyek 16 paket proyek ini.
Selanjutnya, terhadap Juarsah yang disidang sejak Juni 2021, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjeratnya dengan pasal 12 huruf B junto pasal 64 ayat 1 Undang – Undang tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (tipikor).
Ia diduga telah menerima uang suap sebesar Rp 2,5 miliar dalam kasus korupsi ini. Uang tersebut ternyata digunakan oleh terdakwa untuk kebutuhan Nurhilyah yang merupakan istrinya untuk maju sebagai calon anggota Legislatif pada 2019 lalu.
25 Anggota DPRD Terima Fee
Yan menarik, pada proses sidang Juarsah, terpidana Elfin Muchtar dan Robi Okta Pahlevi, kembali dihadirkan sebagai saksi. Di depan hakim mereka menyebutkan ada 25 dari total 45 anggota DPRD di Muara Enim turut menerima aliran dana fee proyek tersebut.
”Selain fee diberikan kepada kepada wakil bupati, atas perintah Ahmad Yani, saya juga memberikan fee kepada 25 anggota DPRD. Untuk detailnya saya lupa. Tapi untuk satu anggota DPRD itu ada yang sampai Rp 200 juta,” katanya dalam persidangan, Kamis (26/8/2021).
Atas keterangan itu, Majelis Hakim yang diketuai Sahlan Effendi pun sempat meminta JPU KPK, Ricky B Maghaz untuk menindaklanjuti dan memeriksa anggota DPRD terkait.
Atas kesaksian itu pula, penyidik KPK kembali melakukan pengembangan. Hasilnya, KPK kemudian menetapkan 10 Anggota DPRD sebagai tersangka. Namun saat itu mereka belum ditahan.
Untuk menguatkan pembuktian, pada 27 September 2021, tim penyidik KPK sebanyak 10 orang kembali mendatangi gedung DPRD, yang berada di kawasan Islamic Center kota Muara Enim. Dengan dikawal aparat Kepolisian Polres Muara Enim dipimpin Iptu Yeri Gunawan, tim KPK melakukan penggeledahan.
Tim terbagi dua, masing-masing menggeledah ruang kerja Komisi I, II, III dan IV serta ruang rapat Banggar dan Banmus. Tim KPK tersebut tiba di gedung wakil rakyat menggunakan dua unit mobil, Toyota Kijang Innova Reborn BG 1513 U, BG 1253 N warna hitam dan Kijang Innova Reborn BG 1054 RA warna Silver.
Setelah hampir 4 jam melakukan penggeledahan tepatnya pukul 12.00 WIB, Semua anggota tim penyidik KPK keluar gedung DPRD langsung menuju mobil, sambil membawa sejumlah koper. Awak media pun yang meliput peristiwa tidak mendapat keterangan apapun.
Sekreratis DPRD Kabupaten Muara Enim Lido Septontoni SH MSi, ketika dikonfirmasi menjelaskan tim penyidik KPK melakukan penggeledahan di ruang komisi-komisi dan ruang banggar serta ruang banmus. Dalam penggeledahan itu, kata dia, tidak ada berkas atau dokumen yang disita.
“Namun penyidik KPK meminta slip gaji 10 anggota dewan yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyerahan slip gaji 10 anggota dewan tertuang dalam berita acara,” ujar Lido.
Masih ditempat yang sama, Kuasa Hukum 10 anggota DPRD Kabupaten Muara Enim Khoirozi SH MH, mengatakan penggeledahan tim penyidik KPK di gedung DPRD Kabupaten Muara Enim, tindak lanjut terkait 10 orang anggota DPRD Kabupaten Muara Enim ditetapkan sebagai tersangka untuk mencari barang bukti.
“Penyitaan hanya 10 item,” ujar Khoirozi usai mendampingi penyidik KPK melakukan penggeledahan. Meski 10 orang anggota dewan telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun belum dilakukan penahanan. 10 orang amggota Dewan, kata dia, akan dijawalkan kembali dilakukan pemeriksaan. “Lihat perkembagan yang jelas kita bersama 15 advokat akan lakukan pendampingan. Jika nantinya ada yang dirugikan akan dilakukan upaya hukum,” katanya.
Tak lama setelah penyidik KPK melakukan penggeledahan di Gedung DPRD Kabupaten Muara Enim, Senin (29/9), barulah 10 anggota dewan ini dipanggil dan diperiksa di Jakarta. Mereka kemudian ditetapkan tersangka dan langsung ditahan atas dugaan keterlibatan mereka dalam kasus ini.
Adapun 10 anggota DPRD Kabupaten Muara Enim periode 2019-2023 tersebut, yakni; Indra Gani BS (IG), Ishak Joharsah (IJ), Ari Yoca Setiadi (AYS), Ahmad Reo Kusuma (ARK), Marsito (MS), Mardiansyah (MD), Muhardi (MH), Fitrianzah (FR), Subahan (SB), dan Piardi (PR).
Cukup Bukti
Menyusul penetapan 10 tersangka anggota DPRD Muara Enim, Kamis (30/9/2021), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menggelar jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta.
Ia mengatakan setelah dilakukan pengumpulan informasi dan data yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, dan adanya berbagai fakta hukum selama proses persidangan dalam perkara awal dengan terdakwa Ahmad Yani dan kawan-kawan. KPK melakukan penyelidikan dan meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan pada bulan September 2021 hingga hari ini diumumkan lagi para tersangkanya,” katanya.
KPK menduga untuk 10 Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim ini, jumlah total kerugian negara sebesar Rp 5,6 miliar.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Alex mengatakan, untuk kepentingan penyidikan, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan para tersangka untuk 20 hari ke depan terhitung sejak 30 September 2021 sampai dengan 19 Oktober 2021.
Empat tersangka, yakni Indra Gani BS, Ari Yoca Setiadi, Mardiansyah, dan Muhardi ditahan di Rutan KPK Kavling C1 berlokasi di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta.
Empat tersangka lainnya ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, yaitu Ishak Joharsyah, Ahmad Reo Kusuma, Marsito, dan Fitrianzah. Sementara dua tersangka lainnya ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, yakni Subahan dan Piardi.
“Untuk antisipasi penyebaran COVID-19 di lingkungan Rutan KPK, para tersangka akan dilakukan isolasi mandiri pada rutan masing-masing,” ucap Alex.
Begitu panjang perjalanan kasus gratifikasi ini bergulir ibarat bola salju. Hal ini sekeligus membuktikan di lingkup pemerintahan Muara Enim, konspirasi oknum pejabat untuk korupsi masih merajalela.
Tapi sejak berita penangkapan 10 anggota DPRD Muara Enim, membuat suasana di Gedung DPRD Muara Enim kembali tampak sepi. Ruang-ruang Komisi banyak yang kosong, tidak banyak anggota dewan yang masuk, kecuali para staf pegawai. Tentu hal ini sangatlah wajar, karena masih ada 15 anggota dewan lagi, yang disebut para saksi dalam persidangan, ikut menerima masnisnya uang fee 16 paket proyek APBD 2019 ini. ”Masih banyak anggota dewan yang ketar-ketir barangkali, bang,” ujar seorang teman jurnalis yang bertugas di Muara Enim. (**)