Polda Metro Jaya Tetapkan Bambang Prayitno Sebagai Tersangka
JAKARTA | Koranrakyat.co.id – Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menetapkan Direktur Utama PT. Sumber Sejahtera Logistik Prima (SSLP), Bambang Prayitno sebagai tersangka dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 KUHP dan atau pasal 372 KUHP.
Penetapan tersangka Bambang Prayitno bersama Rianto alias Akwang dan Dwi Ria Abubakar itu, berdasarkan hasil gelar perkara penyidik pada tanggal 27 September 2018. Hingga saat ini penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya sudah memeriksa 23 orang saksi dan menyita sejumlah surat atau dokumen yang berkaitan dengan perkara tersebut sebagai alat bukti.
“Ya, ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal bepergian keluar negeri. Sampai saat ini belum ada penahanan terhadap ketiganya,” ungkap Kanit 2 Subdit 2 Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kompol Samian, Senin (31/12/2018).
Menurut dia, kasus yang menjerat Bambang Prayitno dan kawan-kawan tersebut berdasarkan laporan Laurence M. Takke dengan Laporan Polisi Nomor : LP/ 3095/ VI/ 2018/ PMJ/ Ditreskrimum, tanggal 7 Juni 2018.
“Tempat kejadiannya di kantor notaris Dwi Ria Abubakar, SH di Jakarta Barat pada tanggal 9 November 2012 dengan alat bukti berupa keterangan 23 orang saksi, beberapa surat dan dokumen yang berkaitan dengan perkara ini,” kata Samian.
Sementara itu, saksi pelapor Laurence M. Takke menjelaskan, kasus ini berawal ketika dirinya hendak berinvestasi di bidang pariwisata dan pelabuhan khusus di Desa Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau pada bulan Agustus 2017 lalu.
Ia bertemu dengan tersangka Rianto alias Akwang yang menawarkan sebuah perseroan PT. Libra Agrotaman Asri (LAA) dan sejumlah tanah yang merupakan bagian dari aset-aset perusahaan tersebut.
Transaksi pun berjalan dengan lancar dimana dalam akuisi tersebut, PT. LAA memiliki beberapa aset berupa tanah dan bangunan sekitar 400 hektar dengan bukti kepemilikan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang biasa juga disebut alas hak, Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
“Setelah akuisisi dilakukan secara notariil, saya mendapatkan informasi bahwa pemilik PT. LAA yang sebenarnya bukan keluarga Rianto, tetapi saudari Yufritis Lorotan Banua dan Dessy Ettyna Cansy. Dari Yufritis inilah, sya mendapat banyak informasi penting terkait legalitas PT. LAA dan sejumlah aset yang dimilikinya,” kata Laurence.
Dia menambahkan, sesuai kesepakatan yang tertuang dalam akta akuisisi dan peralihan PT. LAA, Ia telah mengeluarkan dana sekitar Rp20 miliar. Sebagian dibayarkan kepada pemilik sah PT. LAA dan sisanya untuk membayar pembebasan tanah masyarakat dan biaya-biaya pengurusan surat yang belum diselesaikan oleh manajemen PT. LAA sebelumnya.
Setelah semua transaksi selesai, Laurence selaku pemilik PT. LAA yang baru menanyakan mengenai bukti-bukti kepemilikan aset PT. LAA yang asli berupa SKT, SHM dan SHGB kepada Yufritis selaku pemilik PT. LAA sebelumnya.
Namun, dari keterangan Yufritis diperoleh informasi bahwa sebagian besar SKT, SHM dan SHGB yang asli telah diambil secara diam-diam oleh Rianto yang bersekongkol dengan Bambang Prayitno dari Safe Deposit Box (SDB).
Oleh Rianto dan Bambang Prayitno, sambung Laurence, surat-surat yang dikuasainya secara tidak sah itu, dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di kantor Notaris Dwi Ria Abubakar di Jakarta Barat.
Akta PPJB dengan nomor : 5, tanggal 9 November 2012 tersebut terlihat sangat janggal karena pada waktu yang sama ada 2 PPJB yang terbit dengan nomor, tanggal, bulan, tahun dan notaris yang sama.
“Anehnya lagi, dalam PPJB tersebut disepakati harga jual beli sebesar Rp67.489.860.000 dengan sistem pembayaran angsuran Rp50.000.000 per bulan. Anda hitung saja, dengan angsuran sebesar itu, butuh waktu 112 tahun baru bisa lunas. Yang lebih janggal lagi, dalam PPJB itu, Bambang Prayitno sebagai pihak Penjual, juga sebagai pihak Pembeli,” beber Laurence.
Mengetahui dirinya tertipu, Laurence berupaya menghubungi Bambang Prayitno secara baik-baik dengan harapan permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, dari beberapa kali pembicaraan dilakukan, Bambang selalu ingkar janji dan tidak punya itikad baik menyerahkan surat-surat tanah milik PT. LAA tersebut.
“Alasannya, dia sudah mengeluarkan uang kepada pemilik PT. LAA sebelumnya, yakni Yufritis dan Dessy. Nilainya sekitar Rp7 Miliar. Tapi, begitu saya mau mengganti uangnya, bahkan nilainya lebih besar dari uang yang dikeluarkannya, dia tak mau dan berbelit-belit. Makanya, saya laporkan ke polisi bersama Rianto dan notaris Dwi Ria Abubakar dengan pasal penggelapan, penipuan dan memasukkan keterangan palsu di dalam akta otentik,” katanya.
Tahan 400 Sertifikat
Sementara itu, di tempat terpisah, Bupati Lingga, Kepulauan Riau (Kepri), Alias Wello meminta Direktur Utama PT. SPP, Bambang Prayitno, segera mengembalikan 400 persil sertifikat tanah warga Desa Linau, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga.
Permintaan itu disampaikan Bupati Lingga, Alias Wello usai menerima laporan dari Kepala Desa Linau, Musdar, bersama belasan perwakilan tokoh masyarakat terkait penahanan sekitar 400 persil sertifikat tanah warganya oleh Direktur Utama PT. SSLP sejak tahun 2004 lalu. Berdasarkan informasi warga, luas tanah dalam 400 persil sertifikat itu, sekitar 200 hektar atau masing – masing sertifikat memiliki luas 0,5 hektar.
“Saya baru dilapori oleh Kepala Desa Linau bersama tokoh-tokoh masyarakatnya bahwa sertifikat tanahnya sampai hari ini masih ditahan perusahaan. Padahal, sertifikat itu adalah hak masyarakat setempat. Karena itu, saya minta Direktur Utama PT. SSLP segera mengembalikannya tanpa syarat apapun,” tegas Bupati Lingga, Minggu (30/12/2018).
Menurut Awe, sapaan akrab Bupati Lingga itu, setiap perusahaan perkebunan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (SIUP), wajib membangun kebun untuk masyarakat paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
“Saya sudah minta semua datanya sebagai bahan untuk mengambil langkah-langkah hukum jika manajemen perusahaan ini tidak kooperatif. Kalau perlu, kita koordinasikan dengan penegak hukum untuk mengambilnya,” katanya.