Tragedi Black Hawk dan Blue Streak

Oleh: Moch S Hendrowijono
Mantan editor Harian Kompas/Pemred Sriwijaya Post, pemerhati transportasi dan telekomunikasi..
KoranRakyat.co.id —Tabrakan dua jenis pesawat berbeda, Bombardier CRJ-700 bernama panggilan (call sign) Blue Streak, dengan helikopter Sikorsky UH-60 Black Hawk milik Angkatan Darat Amerika Serikat, Rabu 19 Januari lalu, meninggalkan duka mendalam. Kecelakaan itu merenggut nyawa 76 orang, 60 di antaranya penumpang dan empat awak Blue Streak, serta tiga awak Black Hawk, termasuk sang pilot ayu, Captain Rebecca Lobach (28).
Blue Streak sedang terbang menurun mendekati bandara menuju landasan 33. Mereka hampir mengakhiri tugas membawa penumpang dari Wichita, Kansas selama sekitar 3 jam terbang sejauh 1.460 km ke Bandara Nasional Ronald Reagan di Washington DC, Amerika Serikat.
Tinggal sekitar satu mil (1,6 km) untuk mendarat dibandara, persisnya berada di atas jembatan Woodrow Wilson di Sungai Potomac, pada ketinggian sekitar 1.200 kaki, atau 300-an meter. Petugas pengawas lalu lintas udara, ATC (air traffic controller) bandara yang bekerja sendirian melihat Black Hawk tinggal landas dari pangkalannya menuju arah Blue Streak. Ia mengontak awak helikopter dan bertanya apakah ia bisa melihat CRJ-700.
Pilot helikopter yang pesawatnya sehari-hari melayani Presiden AS dan petinggi-petinggi negara itu, Lobach, yang pengalaman terbangnya baru 1.000 jam, membenarkan, “Confirm,” ujarnya. Ia bahkan meminta pemisahan visual (visual separation) yang artinya ia (pilot) yang akan bertanggung jawab sendiri menjaga jarak dengan CRJ-700 itu, dan ATC boleh lepas tangan.
ATC setuju, tetapi memintanya memantau Blue Streak, menjaga ketinggian dan jaraknya agar tidak terjadi kecelakaan, sesuai prosedur baku. Kecepatan Blue Streak mulai melambat dari 800-an kilometer/jam saat terbang jelajah menjadi sekitar 111 knot atau 200-an kilometer/jam, yang merupakan saat-saat kritis pesawat yang akan mendarat.
Kritis, karena jika terjadi halangan di landas pacu saat pesawat sedang mengurangi kecepatannya, pilot harus segera mengambil keputusan, antara lain naik lagi dan memutar (go round) lalu mencoba mendarat lagi. Dalam kecepatan rendah, pilot hanya punya waktu singkat untuk bisa mengangkat pesawatnya kembali dengan kemungkinan stall (jatuh), sementara helikopter lebih lentur dalam menghadapi saat kritis itu. Apalagi helikopter bisa berhenti di udara (hovering).
Jam sudah menunjukkan pukul 20.47 waktu setempat. Cuaca relatif terang, bintang-bintang terlihat, udara jernih tanpa awan dan badai. Sejak 20 menitan lalu, penumpang dan pramugari sudah mengikuti aturan, duduk manis di kursi masing-masing terikat sabuk pengaman. Biasanya dalam kondisi demikian penumpang membayangkan segera pulang, mandi air hangat dan tidur.
Ketinggian sama
Salah seorang penumpang bahkan sempat memgirim WA ke suaminya, Hamaad Raza. “Dia mengirim pesan teks akan mendarat dalam 20 menit,” ungkap Raza yang ternyata upaya penungguannya itu sia-sia.
Ketinggian Blue Streak sudah mencapai 300 kaki atau sekitar 91 meter, ketika Black Hawk mendekat dan menabraknya dengan kecepatan tinggi dari arah sisi kanannya, tanpa bisa dihindari. Pesawat terbelah tiga, helikopter meledak dan hancur, semua kepingannya jatuh ke sungai Potomac yang gelap dan dingin penuh bongkahan es, suhunya di bawah titik beku, yang langsung juga memadamkan api ledakan yang terjadi.
Akibat peristiwa itu Bandara Ronald Reagan ditutup dan semua penerbangan dialihkan ke dua bandara Washington lainnya.
Tidak ada nyawa tersisa, semua tewas. Kalaupun ada yang masih bernyawa tatkala terlempar, tetap saja tak mungkin menolak maut. Suhu sangat dingin di bawah titik beku ikut membuat mereka masuk dalam barisan korban tewas.
Kesulitan medan ini membuat pencarian korban oleh ratusan penolong termasuk petugas pemadam kebakaran Washington gagal menghadapi kendala. Hari Jumat berikutnya baru 31 jenazah ditemukan termasuk satu serdadu dari helikopter, hari Sabtu jumlahnya menjadi 41 orang bersama kotak hitam (black box). Petugas yakin semua jenazah akan ditemukan dalam seminggu ke depan.
Dari sisi aturan penerbangan, diharamkan ada dua pesawat berdekatan pada ketinggian sama, apalagi pilot Blue Streak sama sekali tidak melihat keberadaan Black Hawk yang tiba-tiba datang dari sisi kanannya. Jika ia melihat ada helikopter di landas pacu yang sama, pasti dia akan naik dan berputar lagi dan mencoba mendarat lagi.
Padahal di bandara itu belasan pesawat antre untuk naik-turun. Saking padatnya, ketika satu pesawat sudah mendarat dan belum sempat berbelok ke taxiway, pesawat di belakangnya sudah menjejakkan roda-rodanya, menyusul. Demikian seterusnya.
Black Hawk semestinya tidak ada di posisi Blues Streak, bahkan tidak boleh memotong jalur terbang CRJ-700. Mereka harus terbang jauh dari semua (tiga) ladasan pacu di Rolald Reagan dengan ketinggian terbatas., 200 kaki, sekitar 60 meter sampai zona aman menjelang keluar bandara.
Tidak punya waktu
Ada beberapa hal yang tampaknya tidak berjalan sesuai prosedur yang bisa mengarah kepada siapa yang salah. Namun NTSB, National Transportation Safety Board, yang kalau di Indonesia namanya KNKT, Komite Nasional Kecelakaan Transportasi, tidak akan menyebutkan kesalahan siapa.
Lembaga itu hanya mengidentifikasi penyebab masalah dan mengumumkannya agar di kelak kemudian hari peristiwa sama tidak terjadi. Kerja NTSB akan lebih ringan, ketika akhirnya kotak hitam bisa ditemukan di antara reruntuhan pesawat dan lumpur sungai.
Dari kotak hitam yang warnanya justru oranye bisa diketahui data dan informasi pergerakan pesawat, CVR (cockpit voice recorder) perekam suara di kokpit, semua suara pilot dan kopilot saat berbicara antar-mereka, dengan ATC atau dengan pilot pesawat lain. Dari informasi bisa disimpulkan apa yang terjadi sejak sebelum kecelakaan sampai kotak hitam mati.
Ke mana si ATC? Dengan permintaan Captain Lobach untuk visual separation, ia bisa “meninggalkan” pekerjaannya, menangani pesawat-pesawat lain yang hendak naik-turun. Tanggung jawab penuh atas helikopter sudah dialihkan ke pilot, mau dibawa ke mana pun, urusan Lobach.
Hari itu ATC bekerja sendiri seperti biasanya, yang saking sibuknya, untuk ke toilet pun mereka tidak punya waktu. Ini hal yang sering dikeluhkan para pengawas, tetapi tidak pernah ditanggapi dengan alasan tidak cukup dana. *