Wacana Bangun Whoosh Hingga Surabaya
![H Moch S Hendrowijono, mantan Pemimpin Redaksi Harian Sriwijaya Post/Editor Harisn Kompas, pengamat telekomunikasi dan transportasi.](https://koranrakyat.co.id/wp-content/uploads/2024/12/hw1.jpg)
Oleh : H Moch S Hendrowijono, mantan Pemimpin Redaksi Harian Sriwijaya Post/Editor Harisn Kompas, pengamat telekomunikasi dan transportasi.
KoranRakyat.co.id — KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) yang mengelola Whoosh, kereta generasi baru yang mampu melaju hingga 350 km/jam, makin pede. Mereka mewacanakan perpanjangan jalur Halim (Jakarta Timur) ke Tegalluar, Bandung timur sepanjang 142 km itu diteruskan sampai Surabaya, Jawa Timur.
Kemampuan membangun dan mengoperasikan Whoosh sudah tidak perlu dipertanyakan, sebagian teknisi PT Kereta Api Indonesia (KAI) sudah menguasai pengendaliannya. Walau masih ada beberapa hal teknis yang masih disembunyikan oleh tenaga-tenaga teknis dari RRC dan transfer teknologi belum sepenuhnya terjadi.
KCIC mewacanakan tiga alternatif jalur (trace), menyambung dari Bandung ke Surabaya. Alternatif pertama mulai dari Bandung ke Surabaya lewat Kroya dan Yogyakarta (629 km diperkirakan bisa ditempuh dalam 180 menit), kedua lewat Cirebon dan Purwokerto (679,2 km perjalanan selama 193 menit) atau alternatif ketiga, Bandung ke Surabaya lewat Cirebon dan Semarang, 642 km perlu waktu 184 menit.
Trace lewat Kroya dan Yogya mungkin termurah ongkos pembangunannya. Namun bukan berarti sekadar perkalian dari biaya pembangunan Whoosh Jakarta Bandung yang 629/142 X Rp 110,16 triliun, jadinya Rp 489,9 triliun. Tidak serta merta, sebab jalur dari Bandung lewat Kroya penuh pegunungan dan lembah yang harus dilalui, yang kereta regular saja harus menembus gunung di Terowongan Ijo, Jateng.
Pada jalur Whoosh saat ini, kereta cepat itu harus menembus 13 buah terowongan yang panjangnya 16,82 km, terpendek 150 meter terpanjang 4.478 meter. Antara Bandung, Kroya dan Kebumen saja sudah muncul tantangan besar untuk KCIC Bandung – Surabaya menembus belasan gunung dan bukit, begitu lepas Cicalengka, Bandung timur.
Pada alternatif kedua, Bandung ke Surabaya lewat Cirebon, Purwokerto, Yogya dan seterusnya sepanjang 679,2 km sama sekali tidak ringan karena harus melewati berbagai bukit dan pegunungan selain lembah yang harus diuruk. Juga harus membangun jembatan panjang di berbagai bengawan yang lebih lebar dari sungai di Jawa Barat.
Pilihan jalur ketiga KCIC Bandung Surabaya lewat Cirebon dan Semarang mungkin merupakan jalur yang ramah dan murah. Jalur Pantura minim gunung, membuat jarak “hanya” 642 km dan waktu tempuh 3 jam lewat 4 menit, tetapi karena harus bolak-balik setelah sampai Bandung lalu ke Cirebon sehingga hilang waktu perjalanan sekitaran 45 menit.
Dua kali ganti generasi
Untuk jalur sepanjang 142 km antara Halim hingga Tegalluar, titik impas pembangunannya (BEP – break even point) Whoosh diperkirakan ekonom senior Faisal Basri bisa 139 tahun, paling cepat 100 tahun. Menurut dia, itu dengan kemampuan Whoosh angkut 601 penumpang, 36 perjalanan sehari dan tarifnya Rp 300.000/orang.
Ini berarti saat tercapai BEP, teknisinya, kondekturnya, kepala stasiunnya, juga penumpangnya, sudah berganti sedikitnya dua generasi. Mungkin teknologinya juga sudah berubah, sebagaimana trayek KA cepat antara Bandara Pudong hingga pusat kota Shanghai, China, yang sudah menggunakan teknologi maglev (magnetic levitation) sepanjang 30 km, yang keretanya “mengambang” di atas rel.
Ini kereta cepat pertama yang kami naiki dekade lalu yang kecepatannya mendekati 500 km/jam, tarifnya 50 yuan sekali jalan (sekitar Rp 110.000). Tidak terasa ada goyangan, walau papan berjalan di ujung kereta penumpang menunjukkan angka kecepatan 486 km/jam.
Indonesia, dengan Whoosh mendekati kecepatan 350 km/jam saja sudah “ajaib”. Bayangkan, dibanding seluruh jenis angkutan darat dan udara antara Bandung dan Jakarta, Whoosh paling unggul.
Whoosh dari Halim ke Padalarang 37 menit termasuk berhenti 2 menit di Karawang. KA Argo Parahyangan 2 jam 20 menit dihitung dari Padalarang sampai Stasiun Jatinegara, tarif kelas ekonomi Rp 150.000, lebih cepat sedikit dibanding kendaraan pribadi lewat tol.
Sementara naik bus cepat sekitar 3-4 jam. Menumpang pesawat Cessna Caravan milik Susi Air, perjalanan sekitar 35-40 menit antara Bandara Halim sampai Bandara Husein Sastranegara, tarifnya antara Rp 200.000 hingga Rp 250.000..
Soal nyaman, Whoosh mengalahkan semua, minim guncangan, tempat duduk kelas ekonominya lebih bagus dari jok di mobil travel yang tarifnya Rp 160.000. Tarif Whoosh, “hanya” Rp 150.000 (ekonomi), hingga Rp 450.000 untuk kelas utama, tetapi tergantung saat puncak (peak) atau low season.
Bangun TOD
Dirut KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi memperkirakan BEP Whoosh akan tercapai pada tahun ke-40. Ini berdasar cacatannya, sepanjang Januari hingga Oktober 2024 lalu penumpang Whoosh sudah mencapai 6 juta dan bisa hingga 8,8 juta, jika setiap hari rata-rata mengangkut 24.132 penumpang seperti terjadi akhir-akhir ini.
Sudah mendekati target 28.000 penumpang dari kapasitas 28.850 penumpang yang diangkut 48 perjalanan per hari, yang dalam waktu dekat akan ditambah menjadi 62 kali sehari. Selain itu, pihaknya juga akan menjual penamaan (naming) stasiun dan membangun TOD (transit oriented development – pengembangan fasilitas sekitaran pusat transportasi publik).
TOD membangun perumahan atau apartemen, pusat perbelanjaan, perdagangan, pendidikan dan sebagainya. Mayoritas stasiun-stasiun di negara maju sudah berkonsep TOD dengan menempatkan pusat perdagangan, dan sebagainya di lantai bawah dan hotel di sebelahnya sementara rel di stasiun di lantai atasnya, dan stasiun mendapat sewa sebagai tambahan pendapatannya.
Mengaca pada “keberhasilan” Whoosh, KCIC yakin pembangunan trayek Bandung – Surabaya akan juga dipadati penumpang. Mereka akan mengalahkan semua jenis angkutan umum dan pribadi antara dua kota itu, termasuk pesawat terbang kalau dihitung perjalanan penumpang dari rumahnya menembus kemacetan hingga bandara yang ‘nun jauh’ di Tangerang.
Barangkali, selain tiga alternatif tadi, KCIC juga bisa mempertibangkan trayek langsung Gambir (Jakarta) ke Pasar Turi (Surabaya) yang jaraknya 713 km, jalur yang jelas landai, tidak banyak perbukitan. Kecepatan kereta KCIC bisa maksimal, mendekati 350 km/jam, perjalanan tuntas dalam 2 jam 20 menit, jika ditambah pemberhentian di beberapa stasiun antara.
Trayek ini punya potensi dibangun di atas jalur KA Jakarta – Surabaya, yang di beberapa tempat memang menyediakan lahan lebar sepanjang jalannya. Biayanya, mengaca pada Whoosh, mungkin di bawah biaya pembangunan trayek alternatif Bandung – Cirebon – Purwokerto – Yogya ke Surabaya.
Biarlah para ahli yang menghitungnya. Hanya saja perlu diwaspadai jangan sampai ada tawaran manis kemudian terasa pahit ketika pihak China meminta tambahan saat proyek sudah berjalan (cost overrun), sehingga menganggu APBN.
Kesuksesan Whoosh akan mampu membuka mata pemodal untuk bekerja sama pembangunan berpola PPP (public private partnership) – kerja sama pemerintah dengan swasta – memodali pembangunan kereta cepat jarak jauh, karena BEP-nya cukup singkat. Pola ini mengurangi beban pemerintah membangun prasarana untuk masyarakat, pemodal pun mendapat bagian dari keikutsertaannya.