15 Januari 2025

Bayang-Bayang Trump 2.0 Terhadap Ekspor Sumsel Selanjutnya

Oleh: Marpaleni, MA, Ph.D

Statistisi Ahli Madya di BPS Provinsi Sumatera Selatan

“The best way to predict the future is to create it.” Peter Drucker.

KoranRakyat.co.id — Kutipan di atas bukan sekadar inspirasi, tetapi panggilan untuk bertindak. Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada November 2024 membawa sinyal kuat: kebijakan “America First” berpotensi kembali, bahkan mungkin dalam versi lebih agresif—Trump 2.0.

Bagi Sumatera Selatan—lumbung ekspor Batubara Indonesia, karet, kelapa sawit dan kopi Indonesia—kebijakan proteksionis AS adalah tantangan sekaligus peluang berbenah.

Sumatera Selatan vs Kebijakan Proteksionisme

Rilis terbaru BPS mengungkapkan performa ekspor Sumsel yang impresif. Per Oktober 2024, ekspor Sumsel mencapai US$646,06 juta, tumbuh 5,70% dari bulan sebelumnya dan melesat 22,46% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, impor Sumsel turun ke US$110,62 juta, anjlok 33,19% dari September atau turun 23,78% year-on-year. Hasilnya, neraca perdagangan mencatat surplus signifikan sebesar US$535,44 juta, mencerminkan ketahanan Sumsel di tengah tekanan ekonomi global.

Namun, di balik capaian positif ini, terselip tren yang patut diwaspadai. Secara kumulatif, ekspor Januari-Oktober 2024 turun 1,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika kebijakan proteksionis Trump kembali diterapkan, penurunan ini berpotensi semakin tajam.

Proteksionisme: Pendekatan Lama, Dampak Baru

Proteksionisme bukan hal baru. Kebijakan ini melindungi industri domestik dengan membatasi impor melalui tarif tinggi dan regulasi ketat. Tujuannya: mengurangi ketergantungan pada produk asing dan memperkuat sektor strategis yang vital bagi ekonomi dan keberlanjutan industri lokal.

Frasa ‘2.0’ menandakan versi baru atau pembaruan, mencerminkan evolusi dari sebelumnya. Sejak diperkenalkan oleh Tim O’Reilly melalui konsep ‘Web 2.0’ pada awal 2000-an, istilah ini populer digunakan untuk menggambarkan inovasi, seperti ‘Industri 2.0’ atau ‘Pendidikan 2.0.’

‘Trump 2.0’ merujuk pada kemungkinan perubahan kebijakan signifikan di masa jabatan kedua Donald Trump. Selama periode pertama, ia dikenal dengan proteksionisme dagang, kebijakan imigrasi ketat, dan hubungan rumit dengan sekutu AS. Jika kembali ke Gedung Putih, kebijakannya diperkirakan akan mengubah dinamika politik AS, ekonomi global, dan aliansi internasional secara besar-besaran.

Dari Perspektif AS: Proteksionisme sebagai Solusi Ekonomi?

Bagi Amerika Serikat, proteksionisme dipandang sebagai strategi kunci untuk menguatkan daya saing produk domestik, menciptakan lapangan kerja pada sektor terdampak impor, serta mengurangi defisit perdagangan. Di mata pendukungnya, proteksionisme bukan sekadar kebijakan ekonomi; tetapi juga alat untuk membangkitkan industri dalam negeri dan merangsang pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada produksi lokal. Contohnya, tarif tinggi baja dan aluminium era Trump sebelumnya memberi stimulus besar bagi sektor tersebut.

Jika pendekatan proteksionisme agresif ala Trump diterapkan kembali—bahkan mungkin dalam versi 2.0—ketegangan perdagangan antara AS dan negara-negara besar seperti Tiongkok dan Uni Eropa hampir pasti akan meningkat. Dampaknya tak hanya mempengaruhi harga komoditas global dan rantai pasok internasional, tetapi juga menimbulkan ketidakstabilan ekonomi yang harus diantisipasi oleh negara-negara eksportir, termasuk Indonesia.

Tantangan Khusus bagi Sumsel

Pada Oktober 2024, ekspor nonmigas Sumsel mencapai US$616,96 juta, naik 6,37% dari bulan sebelumnya, atau 27,70% year-on-year. Peningkatan bulanan didorong oleh lonjakan permintaan sejumlah komoditas seperti batubara (17,28%), minyak nabati/hewan (458%), kayu dan produk kayu (25,99%), serta pupuk (151,09%). Namun demikian, kembalinya kebijakan proteksionis AS berpotensi menjadi hambatan serius. Tarif tinggi dan regulasi ketat dapat melemahkan daya saing ekspor utama Sumsel, mengancam tren pertumbuhan positif yang ada.

Proteksionisme modern tak hanya menghadirkan tarif tinggi, tetapi juga hambatan non-tarif seperti standar lingkungan dan sosial yang ketat. Kebijakan ini berpotensi memperumit ekspor andalan Sumsel—batubara, kelapa sawit, dan kayu—yang kerap terimbas isu lingkungan.

Tantangan proteksionisme tak hanya soal standar ketat. Ketergantungan pada ekspor komoditas primer membuat negara berkembang rentan terhadap kebijakan negara besar. Di Sumsel, 56,43% ekspor selama Januari–Oktober 2024 ditujukan ke tiga pasar utama—Tiongkok, India, dan Korea Selatan. Ketergantungan ini berisiko; setiap perlambatan ekonomi atau perubahan kebijakan di negara-negara tersebut dapat langsung menekan permintaan ekspor. Lebih jauh, ekspor Sumsel ke AS, pasar terbesar kelima, menyumbang 5,56% dari total ekspor pada periode yang sama. Jika proteksionisme ketat AS kembali diterapkan, dampaknya tentu akan signifikan.

Ekonom Paul Krugman, memperingatkan bahwa proteksionisme dan perang dagang tidak hanya mengganggu keseimbangan ekonomi global, tetapi juga menciptakan ketidakpastian, dan memperlambat pertumbuhan—terutama di negara berkembang. Bagi Sumsel, ketidakpastian ini bisa memperburuk situasi, terutama mengingat penurunan ekspor kumulatif yang berlangsung sepanjang tahun.

Peluang Diversifikasi Pasar dan Hilirisasi Produk

Menghadapi ancaman proteksionisme, Sumatera Selatan harus mengurangi ketergantungan pada pasar besar dengan memperluas ekspor ke wilayah baru seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi risiko dan menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.

Namun, diversifikasi saja tidak cukup. Sumsel perlu mengadopsi hilirisasi dengan mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah, seperti oleokimia dari kelapa sawit atau ban dari karet. Langkah ini akan meningkatkan nilai ekonomi sekaligus daya saing Sumsel di pasar global.

Pentingnya Sertifikasi dan Standar Keberlanjutan

Di tengah meningkatnya kesadaran global akan isu lingkungan, penerapan standar internasional dan praktik keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Jeffrey Sachs, pakar ekonomi pembangunan berkelanjutan, menekankan, agar tetap kompetitif di pasar global, setiap daerah atau negara harus mengadopsi standar keberlanjutan. Di negara-negara maju, standar lingkungan dan sosial sudah menjadi syarat utama untuk produk impor.

Untuk itu, adopsi sertifikasi seperti RSPO untuk kelapa sawit dan standar ISO untuk produk lainnya menjadi sangat penting. Sertifikasi ini tidak hanya akan membantu memenuhi persyaratan pasar internasional, tetapi juga meningkatkan daya saing dan reputasi produk Sumsel di mata konsumen global. Memang, penerapan standar ini membutuhkan investasi tambahan, seperti teknologi ramah lingkungan dan pelatihan tenaga kerja. Namun, manfaatnya dalam jangka panjang akan signifikan — sertifikasi keberlanjutan tidak hanya membantu menjaga akses pasar internasional tetapi juga meningkatkan citra dan daya saing produk Sumsel.

Memperkuat Diplomasi dan Kerja Sama Internasional

Selain itu, menyeimbangkan keterbukaan global dengan kedaulatan nasional juga menjadi langkah penting. Bagi Sumatera Selatan, ini berarti memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjalin kemitraan perdagangan yang kokoh sekaligus melindungi kepentingan domestik. Kerja sama dengan ASEAN (23,24% dari ekspor Sumsel) dan Uni Eropa (3,11%) selama Januari–Oktober 2024 berpotensi memperluas pasar dan memperkuat posisi dagang.

Selain perjanjian perdagangan, Sumsel dapat memanfaatkan forum internasional dan pameran dagang untuk mempromosikan produk unggulan. Partisipasi aktif dalam acara ini tidak hanya membuka peluang kemitraan baru dan menarik investasi asing, tetapi juga membantu mendiversifikasi pasar ekspor, mengurangi ketergantungan pada beberapa negara utama.

Masa Depan Ekonomi Sumsel di Era Trump 2.0

Potensi kembalinya Poteksionisme di Era Trump 2.0 tidak perlu membuat gentar. Justru, ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi melalui diversifikasi pasar, hilirisasi produk, dan adopsi standar keberlanjutan serta penguatan diplomasi internasional.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, Sumsel bisa membangun ekonomi yang lebih tangguh dan siap menghadapi perubahan kebijakan global. Seperti kata Drucker, “Cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya.”