Pjs Bupati Natuna Dr Rika Azmi Tekankan Netralitas PNS Di Lingkungan Pemkab Natuna

Rapat koordinasi ini adalah upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam pemilu melalui laporan terhadap perkembangan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Natuna Tahun 2024.
“Karena beberapa hari yang lalu kami memantau kesiapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2024. Kita sebagai Pemerintahan Daerah perlu mengetahui jalannya pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada, Kami selaku kepala daerah juga ingin mengetahui laporannya,” ujar Rika.
Selain itu tujuan rapat koordinasi ini bisa meminimalisir potensi kendala sehingga pelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah di natuanbbisa berjalan yang lancar, aman, dan Kondusif.
“Pentingnya persiapan yang matang untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, Intinya Pemerintah Daerah ingin Pesta Pemilihan Kepala Daerah ini agar berjalan lancar, aman, dan kondusif,” ujarnya.
Rika menuturkan, setelah di tunjuk sebagai pejabat sementara Bupati Natuna dia sebagai kepala daerah mendapatkan amanah dari kementerian dalam negeri di antaranya memfasilitasi acara pemilihan kepala daerah.
“Setelah di tunjuk sebagai pejabat sementara Bupati Natuna tentunya saya selaku Pemegang Pemerintah di Kabupaten Natuna memiliki tugas yang sudah di amanahkan kepada saya di antaranya adalah memfasilitasi Pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2024,” jelasnya.
Dasar hukum Larangan ASN Berpolitik
Aparatur Sipil Negara (“ASN”) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”) yang bekerja pada instansi pemerintah.
Sedangkan PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Membahas mengenai larangan ASN berpolitik, ini berkaitan dengan aturan netralitas ASN. Artinya setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (2) UU ASNsecara tegas menyebutkan pegawai pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Kemudian, pada dasarnya untuk melaksanakan amanah membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan adanya birokrasi pemerintahan yang berkinerja baik. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah telah mencanangkan rencana aksi membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan ASN sebagai mesin utama birokrasi yang profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, serta mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Lantas, bagaimana hukumnya jika ASN terlibat berpolitik? Dalam hal ASN/PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, ia diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (4) jo. Pasal 52 ayat (3) huruf j UU ASN.
Netralitas ASN dalam Pemilu
Setelah mengetahui adanya larangan ASN berpolitik praktis, berikut patut Anda catat peraturan tentang netralitas ASN dalam pemilu yang secara terperinci tercantum dalam SKB Netralitas ASN
Keberlakuan SKB Netralitas ASN dalam pemilu 2024 yang lalu, maupun pada pemilu tahun-tahun selanjutnya pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan pegawai ASN yang netral dan profesional serta terselenggaranya pemilu yang berkualitas.
bagaimana jika ada ASN yang membuat posting, comment, share, like, bergabung/follow dalam group/akun pemenangan calon presiden/wakil presiden/DPR/DPD/DPRD/gubernur/wakil gubernur/bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota,[5] termasuk pelanggaran disiplin atas Pasal 9 ayat (2) UU ASN dan Pasal 5 huruf n angka 5 PP 94/2021
Bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan di atas, hukuman disiplin berat dijatuhkan yakni terdiri atas:
- penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;
- pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; dan
- pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Selain pelanggaran disiplin, PNS juga dianggap melakukan pelanggaran kode etik pada Pasal 11 huruf c PP42/2004 yaitu etika terhadap diri sendiri yang mencakup menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.
Sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut adalah sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, baik berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka. Lalu, dalam pemberian sanksi moral tersebut, harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS. Hal ini diatur dalam Pasal 15 PP 42/2004.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara;
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil;
- Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
- Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu tentang Nomor 2 Tahun 2022, 800-5474 Tahun 2022, 246 Tahun 2022, 30 Tahun 2022, 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pemilihan;
- Lampiran Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu tentang Nomor 2 Tahun 2022, 800-5474 Tahun 2022, 246 Tahun 2022, 30 Tahun 2022, 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. *(red)
Sumber HUKUM Online.com