8 November 2024

Pelestarian Kesenian dan Budaya Khas Natuna Bagian Geopark Natuna

KR Natuna- Konsep Geopark bukan saja menyuguhkan bentang alam atau geosite saja, tetapi juga sekaligus melindungi dan menjaga Kelestarian budaya dan kesenian, begitu juga dengan Konsep Geopark Natuna 

Ir Basri ketua Harian Geopark Natuna

Geopark (Taman Bumi) merupakan suatu konsep menejemen pengembangan kawasan secara berkelanjutan yang memadu serasikan tiga keragaman alam yaitu keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity) yang bertujuan untuk pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada asas perlindungan (konservasi) terhadap ketiga keragaman tersebut.

“Pada prinsipnya geopark merupakan konsep pengembangan kawasan yang dapat disinergikan dengan prinsip-prinsip perlindungan, pendidikan, penumbuhan ekonomi lokal melalui geowisata, serta harus terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah eksisting di kawasan telah terbangun sebagai legalisasi penjamin nila-nilai tersebut diatas.” jelas Ir Basri selaku ketua harian Geopark Natuna  kepada media ini  Jumat  (27/09)

Festival Dendang Piwang Upaya Pelestrian Budaya  dan Kesenian di Kawasan Geopark Natuna

festifal Dendang Piwang upaya lestarikan budaya dan kesenian Natuna

Salah satu upaya yang dilakukan Geopark Natuna dalam melestarikan budaya adalah dengan mengadakan festival budaya lokal yang rutin diselenggarakan, melaluii kolaborasi berbgai pihak yang dinisiasi Dinas Pariwisata dan Dinas pendidikan dan Kebudayaan Natuna telah diagendakan rutin kegiatan tahunan, seperti Dendang Piwang,  festifal Stanau, festifal Mekar Jaya dan sejumlah kegiatan kesinian massal lainnya.

Festival-festival ini tidak hanya menjadi hiburan bagi masaralkat dan  wisatawan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda agar tertarik iut serta melestarikan warisan budaya Natuna.

” Di harapkan dengan festifal rutin seperti ini tumbuh  kecintaan terhadap seni tradisi kearifan lokal Natuna seperti Dendang Piwang, Mendu, Tari Zapin, permainan Gasing, kesenian  Alu, tari Ayam Sudu dan banyak lagi,  ksenian kebanggaan masyarakat Natuna ini  bisa  menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Natuna,”  jelas Basri lebih jauh.

Bicara wisata Geopark Natuna selain seni  budaya juga ada kerajinan tangan dan kuliner (makanan) khas tradisional yag turut memperkaya Cultural diversyti  Geopark Natuna.

Masih ada pengrajin lokal yang masih menggunakan metode tradisional dalam membuat anyaman pandan dan ukiran kayu, ynag tetap tetap dilestarikan dan didukung oleh pemerintah Natuna sebagai bagian dari pengembangan ekonomi berbasis budaya.

Geopark dan Budaya Hubungan yang Tak Terpisahkan

Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Hadisun kepada awak media ini menyebut bahwa Geopark Natuna memiliki peran sentral dalam pelestarian budaya masyarakat setempat.

Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Natuna, Hadisun, S.Ag

“Berbagai event kebudayaan yang kita gelar selalu menampilkan logo Geopark Natuna. Itu menunjukkan bahwa Geopark dan kebudayaan tak dapat terpisahkan,” ungkap Hadisun.

Tidak hanya fokus pada seni dan kerajinan, pelestarian kuliner khas Natuna juga mendapat perhatian besar dalam pengembangan Geopark ini.

Natuna memiliki kekayaan Cultural Diversity berupa kuliner berbahan dasar hasil laut yang dimasak dengan bumbu rempah khas Melayu, seperti , Kernas, Silong, Pedek, dan Tabel Mando, menjadi daya tarik tersendiri yang memperkaya pengalaman wisatawan di kawasan tersebu

Sementara salah satu budaya dan kesenian yang coba dilestarikan dan dibangkitkan kembali adalah “Mendu” yang merupakan karya budaya yang ditetapkan jadi warisan bersama antara Provinsi Kepri dan Kalimantan Barat.

” Dulu kami ini pelakon seni Mendu, bersama kawan-kawan seangkatan kamai diera tahun 60 sampai 80an kami termasuk pelakon Utama, istilahnya artisnya lah, syanag semakin kesini tak banyak lagi anak muda ynag tertarik melakonkan drama ynag penuh dengan petuah ini, banyak kawan-kawan senagkatan ynag sudah wafat, sebenarnya sayang jika kesenian ini tak dilestarikan, mungkin pemkab Natuna perlu memperhatikan para seniman Mendu ynag rata-rata sudah berusia uzur, agar kesenian ini tidak hilang ditelan jaman,” jelas Asparlani yang saat ini  berusia 70 tahun kepada media ini

Saat ini Asparlani salah satu aktor seni Mendu ini memilih hidup tenang di desa Mekarjaya sekitar 75 Km dari Ranai Natuna.

“Mendu” ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda 

Mendu ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) bersama Kepri dan Kalbar. Mendu adalah salah satu kesenian khas kabupaten natuna yang berawal dari pulau laut, dan juga dikembangkan oleh orang kaya Maddun. Mendu berasal dari kata menghibur rindu atau hiburan rindu kampung halaman dan kasih sekampung.

Dahulu, legenda Mendu Dewa Mendu dipentaskan pada perayaan-perayaan panggung kehidupan seperti pernikahan dan upacara penyembuhan komunal, seringkali pertunjukan sepanjang malam hingga berhari-hari. Pertunjukan tradisional hingga akhir 1980-an berlangsung selama 4-8 jam dan berakhir setelah tengah malam atau dini hari. Pernah populer pada pergantian abad ke-20 dan pada 1970-an dan 1980-an, teater Mendu dipentaskan di Bunguran, Sedanau, Pulau Tiga, dan Siantan di Kepulauan Natuna seperti diturukan dalama penelietian Karen S. Kartomi -1986.

Cerita Mendu yang dipentaskan di Natuna adalah tentang seorang pahlawan yang dikenal sebagai Dewa Mendu, seorang pahlawan Melayu mirip Panji dan petualangannya dengan saudaranya Angkaran Dewa di bumi.

Kedua bersaudara ini dihadapkan pada tantangan demi tantangan baik dalam pertempuran fisik maupun kontek mistis, setelah dilemparkan ke salah satu lautan dalam bumi oleh para dewa dari atas. Kisah ini menceritakan tentang banyak perjalanan panjang mereka, dan juga tentang keturunan mereka yang, setelah melintasi bumi jauh dan luas dan memastikan kemakmuran di antara tanah yang mereka kuasai sebagai Sultan Melayu, mereka akhirnya meninggalkan dunia manusia dan kembali ke tanah kelahiran dewa.

Pertunjukan ini terbagi ke dalam tujuh episode. Ketujuh episode tersebut terdiri dari episode pertama yang menceritakan kehidupan khayangan dan turunnya Dewa Mendu dan saudaranya Angkara Dewa ke dunia, hingga bertemunya Dewa Mendu dengan Siti Mahadewi yang kemudian menikah dengannya; sampai dengan episode ketujuh bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan anaknya, Kilan Cahaya, dengan diawali perkelahian antar keduanya.

Hikayat ini dapat dimainkan dalam beberapa versi, namun tidak menghilangkan inti cerita, Tetapi sekarang Kesenian Mendu menghibur dengan adegan-adegan lucu yang menghibur masyarakat yang menonton.

Keunikannya dari teater mendu ini adalah cerita yang dimainkan tanpa naskah sehingga pemainnya harus memahami alur cerita. Dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik yang khas. Iringan musik menggunakan alat musik gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng. Bahasa dalam Kesenian Mendu dipergunakan oleh tokoh-tokoh adalah  bahasa Melayu sehari-hari.

Pada zaman dahulu orang yang paling bertanggung jawab atas berlangsungnya kesenian ini disebut Khafilah. Tugasnya layaknya sutradara yang mengatur jalannya pementasan. Sesekali ia bermadah untuk menyampaikan prolog berisi ringkasan cerita penampilan berikutnya. Sedangkan, yang bertanggung jawab terhadap lingkungan disebut dengan Syekh. Tugasnya melindungi para pelakon dari ancaman kekuatan jahat. Oleh karena itu pementasan mendu memerlukan Pohon Pulai (alstonia scholaris) yang ditanam pada bagian depan panggung sebagai penangkal kekuatan jahat yang dapat mencelakakan pelakon. Syekh maupun Khafilah berada di belakang. Syekh ada kalanya berperan sebagai Khafilah, tetapi tidak untuk sebaliknya.

Maksud dari dewa mendu dalam arti melayu dewa ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang melebihi orang pada umumnya, Dahulu pementasan mendu memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika keseluruhan episode dimainkan bisa memakan waktu sampai 40 malam namun sekarang dapat diperpendek sampai 3 malam saja. Bahkan, saat ini bisa dimainkan dalam sehari hanya dalam waktu 45 menit sampai 2 jam saja dengan mengambil fragmen yang diperlukan.

Di lihat dari usianya kesenian mendu sudah berusia puluhan tahun bahkan sudah berabad usianya, meskipun tergolong kesenian jadul dan kurang modern dengan pertunjukan teater zaman modern sekarang. Kesenian Teater Mendu ini sudah banyak di minati oleh kalangan anak muda di beberapa wilayah Kepri terutama pemuda di Kabupaten Natuna, mereka sebagai generasi penerus daerah turut melestarikan kesenian ini.

Seperti yang telah di tunjukkan oleh Komunitas Pencinta Seni Natuna dan Ikatan Pelajar Natuna yang sedang menimba ilmu di Yogjakarta , dimana mereka menampilkan kesenian teater mendu ini kepada masyarakat guna mempromasikan bahwa kesenian ini tidak di makan zaman dan masih di sukai oleh anak muda.

Dalam pertunjukan tersebut mereka tidak menampilkan pertunjukan dengan durasi waktu seperti pada zaman dahulu yaitu 7 hari 7 malam, tetapi mereka memangkasnya menjadi 2 jam waktu pertunjukan, dengan di hiasi dengan adegan-adegan jenaka sehingga mengundang decak tawa penonton membuat penonton terhibur, sehingga penepis anggapan masyarakat sekarang bahwa pertunjukan mendu terkesan menoton dan kental dengan mistis. Tetapi sekarang sudah di kemas dengan pertunjukan yang sangat menghibur di hiasi dengan adegan lucu membuat penonton terhibur, ini adalah salah satu daya tarik baru agar masyarakat antusias menyaksikan kesenian mendu.

Masa perkembangan

Awalnya teater Mendu dirintis oleh Nek Ketol. Teater ini kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Ali Kapot. Muridnya in kemudian membentuk kelompok teater Mendu di desa Malikin Mempawah Kalbar. Kelompok ini terdiri dari tiga orang yaitu Ali Kapot, Amat Anta dan Achmad. Mereka kemudian mulai mengajarkan Mendu kepada masyarakat di desa lain pada tahun 1837.

Sedangkan di Natuna  Mendu adalah salah satu kesenian khas yang berawal dari pulau Laut, dan juga dikembangkan oleh orang kaya Maddun. Mendu berasal dari kata menghibur rindu atau hiburan rindu kampung halaman dan kasih sekampung.

Masa kejayaan

Selama periode tahun 1876 hingga 194oan , pementasan Mendu digunakan sebagai alat menyampaikan pesan moral dan muatan pesan kearifan lokal kepada khalayak segaligus menghibur, kesenian ii sama halnya dengan kesenian “Ludruk” di jawa timur dan “Ketoprak” di jawa tengah

Masa kemundura

Mendu tidak lagi dipentaskan sejak tahun 1943 pada masa penjajahan jepang. Kemunduran ini diawali oleh larangan berserikat dan berkumpul yang ditetapkan oleh pemerintah penjajahanJepang. Setelah Indonesia merdeka, Mendu masih sesekalai dipentaskan dalam acara hajatan dan acara peringatan tertentu (red)