21 September 2024

Di Balik Cerita  “Tanjak ” yang Dijadikan Simbol Bangunan dan Gapura

Albar S Subari SH.MH Ketua Dewan Pembina Adat Sumatera Selatan

 Tanjak merupakan sejenis penutup kepala  bagian dari ornamen  pakaian , yang digunakan oleh masyarakat di dalam kegiatan kegiatan tertentu pada suatu komunitas tertentu pula.

Orang Melayu dengan baju Melayu-nya beserta perlengkapan busana, sebagai suatu simbul atau ciri identitas umumnya ataupun juga identitas ciri seseorang atau sekelompok orang tertentu seperti di jaman dahulu .

Baik itu sebelum penjajahan ataupun juga saat colonial. Simbol simbol itu tetap dilestarikan.

Karena masyarakat Indonesia ini bersifat majemuk, adat istiadat nya tentu juga simbol antara lain tanjak itu juga, baik bentuk maupun philosofinya mengikuti nilai nilai yang hidup dan tenggelam dalam masyarakat.

Salah satu etnis Melayu terutama kita di Sumatera Selatan juga memiliki simbol simbol itu.

Terutama dalam acara resepsi pernikahan, sering kita melihat aneka ragam budaya khususnya penutup kepala.

Di Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang kita sebut dengan TANJAK. Bentuk dan motifnya hampir sama.

Namun kalau kita telusuri sembilan anak sungai yang ada di Sumatera Selatan yang lebih dikenal BATANGHARI SEMBILAN (nama anak sungai yang masing masing akan bermuara ke sungai Musi , salah satunya misalnya sungai Komuring.

Di sana bermukim lebih kurang 56 etnis KUMORING, dan salah satunya dikenal istilah penutup kepala itu dengan nama KUPUDANG.

Kepudang sejenis burung yang mempunyai sifat, keberanian, ketegasan dan kejujuran.

Ada suatu cerita di balik tanjak , yang sudah mensosialisasi di kota Palembang dan di kabupaten kota di Sumatera Selatan.

Tanjak yang dijadikan simbol kedeaerahan bangunan dan gapura/net

Suatu pagi ada pertanyaan seorang jurnalis senior di Palembang bertanya kepada penulis, sebab waktu itu penulis menurunkan artikel di salah satu media berjudul Melayu Berasal Dari Kerajaan Melayu Purba.

Pertanyaannya apakah Simbul TANJAK yang dibuat di atas gapura atau kantor kantor dinas pemerintah dan swasta itu sudah mempunyai peraturan daerahnya  –seperti halnya Rumah Gadang bagi orang Minang . Apakah sudah dikonsultasikan dengan pihak pihak terkait yang ahli di bidang adat istiadat dan budaya.?.

Pertanyaan itu mengingat saya pada saat diskusi terakhir bersama anggota legislatif  komisi bidang kebudayaan.

Bahwa saat itu seiiring dengan bahasan perda, pihak eksekutif sudah ada membuat contoh bangun simbul Tanjak.

Terlepas dari itu , penulis sebagai ketua pembina adat sumatera selatan waktu itu mengusulkan sebaiknya simbol simbol demikian baik yang dibuat di luar rumah seperti GAPURA ataupun Atap kantor/ rumah dinas khususnya dibuat seperti bentuk atap rumah LIMAS (seperti rektorat Universitas Sriwijaya di Indralaya)..

Karena itu simbol yang spesifik, bukan sifatnya tambahan busana.

Dulu ide itu pernah direalisasikan oleh salah satu mantan Bupati Muaraenim agar setiap bangunan baru dibuat motif atas rumah adat Muaraenim.

Tapi sepertinya tidak lanjut seiring berakhirnya masa jabatan ybs.

Sebagai tambahan catatan sebenarnya kalaupun mau tetap dengan simbol tutup kepala, seharusnya motif dan warnanya disesuaikan dengan kesepakatan tutup kepala pada masing masing budaya setempat.

Penulis yakin mereka masyarakat adat punya ciri has masing masing sesuai dengan adat istiadat setempat.

Kembali kepada pertanyaan tadi sepertinya ada beberapa catatan yang tersisa untuk dipikirkan bersama agar generasi penerus bangsa tetap mencintai adat istiadat yang beragam dari Sabang sampai Merauke sebagai pengikat negara kesatuan Republik Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.Salam Budaya.

Kalau tidak keliru saya waktu dengar pendapat dengan komisi bidang kebudayaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan saat finalisasi perda soal Bentuk dan Motif ornamen Bangunan Baru, mengusulkan agar bentuk atap dan ornamen yang gedung yang baru, agar dibuatkan sesuai dengan bentuk dan motif nya RUMAH ADAT setempat yang ada di tetapi 17 kabupaten kota.

Termasuk bentuk dan motif tutup kepala.

Yang waktu itu juga dihadiri oleh staf ahli, budayawan dan unsur Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Selatan yang diwakili oleh Kepala Bidangnya masing masing.

Kesimpulan dari tulisan ini, selaku Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan, mengharapkan kepada instansi yang terkait untuk mensosialisasikan ciri khas adat istiadat kita dalam bentuk menggunakan dan ornamen baik di luar gedung dan di dalam gedung khususnya bangunan baru.

Yaitu bentuk atap rumah LIMAS.

Untuk di Kabupaten kota bisa menggunakan ciri khas daerah nya masing masing sesuai kesepakatan bersama. Sebagai ciri Bhinneka Tunggal Ika.(*/Sar)