15 Januari 2025

Bupati Natuna mengaku Tak Punya Kewenangan Tolak atau Terima Tambang Kuarsa di Subi

KR Subi- Guna menerangkan isu yang sempat hangat diperbincangkan dikalangan masyarakat terkait dengan rencana pertambangan pasir kuarsa yang akan diadakan di Kecamatan Subi, Bupati Natuna Wan Siswandi jelaskan kepada masyarakat Subi jika pertambangan tersebut bukan keputusan dan wewenang dari Pemerintah Kabupaten Natuna, tapi perencanaan tersebut merupakan keputusan dan wewenang dari pemerintah pusat dan provinsi Kepri

Hal itu disampaikan Wan Siswandi dalam sambutannya pada acara Gelar Budaya Dendang Piwang di Desa Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Minggu malam (29/05).

Bupati Natuna Wan Siswandi
“Terkait dengan pertambangan pasir kuarsa yang akan ada di Subi ini nantinya, perlu saya sampaikan bahwa pertambangan pasir kuarsa ini merupakan keputusan dan wewenang dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, dan kebetulan lokasinya ditetapkan di daerah kita. Kita selaku pemerintah daerah tidak bisa menentukan, tidak bisa memutuskan untuk menerima dan juga tidak bisa memutuskan untuk menolak. Dan juga oleh karena di Kabupaten Natuna tidak ada Dinas Pertambangan, di Provinsi ada Dinas Pertambangan, karena itu kewenangannya diberikan kepada pemerintah provinsi,” jelas Wan Siswandi.
Disamping itu, selaku Kepala Daerah tentunya akan memperjuangkan hak-hak atau hasil yang akan dirasakan masyarakat dari pelaksanaan pertambangan tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Wan Siswandi meyakinkan masyarakat bahwa hasil dari pertambangan tersebut nantinya akan dirasakan oleh seluruh Desa yang ada di Kecamatan Subi.
“Dan perlu saya sampaikan juga, jika pertambangan pasir kuarsa di Subi ini sudah berjalan, seluruh Desa yang ada di Subi ini akan kebagian untuk menikmati hasilnya. Saat ini kita sudah ada penambhan dari sisi PAD kita dengan sudah berjalannya satu pertambangan pasir kuarsa di Teluk Buton,” lanjut Siswandi.
Sebelumnya, pertambangan pasir kuarsa ini sudah ada berjalan di Kabupaten Natuna, tepatnya di Desa Teluk Buton Kecamatan Bunguran Utara.
Apakah kegiatan Tambang di Pulau Kecil diijinkan Aturan ?
Aturan ini pernah di gugat di mahkamah konstiusi.
Berikut hasil sidang Mk terlkait Aturan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Bertujuan Untuk Melindungi dan Mengonservasi
Sidang gugatan di MK terkait pengelolaan pulau pulau kecil

Dalam situs HUMAS MKRI diterangkan– Aturan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir) bertujuan untuk melindungi dan mengonservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini disampaikan oleh Dirjend Pengelolaan Ruang Laut

Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaf Manoppo dalam sidang lanjutan uji UU Pengelolaan Wilayah Pesisir digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Victor mewakili Pemerintah menyampaikan UU PWPPP harus dipahami secara komprehensif dan harus melihat tujuan diundangkannya UU itu sendiri. Oleh karena itu, membaca dan memahami ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU a quo harus dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UU PWPPP.
“Yang jelas bahwa (ketentuan tersebut) mengatur pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistem ekologis secara berkelanjutan,” ungkap Victor.
Pemerintah meminta agar Pemohon juga memperhatikan Pasal 23 ayat (2) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir mengatur kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan, perlatihan serta penelitian dan pengembangan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
“Kata ‘prioritas’ dalam penentuan Pasal 23 ayat (2) menurut KBBI yaitu didahulukan dan diutamakan daripada yang lain yang oleh Pemohon dimaknai tidak sebagai larangan untuk kepentingan lain sebagaimana dimaknai pasal a quo,” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Victor, kepentingan lain di luar sebagaimana pasal a quo tidak serta-merta dilarang. Hal ini dapat diindikasikan dengan adanya ketentuan Pasal 35 huruf k UU Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dalam Pasal 35 huruf k UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dinyatakan bahwa dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil setiap orang secara langsung atau tidak dilarang.
“Dalam Pasal 35 huruf k disebutkan melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan ekologis atau sosial atau budaya tidak menimbulkan kerusakan sosial dan atau pencemaran lingkungan dan atau merugikan masyarakat sekitar. Dengan demikian dalam hal penambangan mineral pada wilayah tersebut apabila tidak menimbulkan kerusakan maka tidak dilarang,” ujar Victor.
Victor menambahkan bahwa persyaratan pertambangan di pulau kecil tidak hanya berdasarkan pada ketentuan pasal dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, melainkan juga harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan lainnya, antara lain UU Pertambangan dan UU Tata Ruang.
“Apabila dicermati kembali kegiatan penambangan di Pulau Wawoni serta pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya yang berpotensi menimbulkan kerusakan bukanlah merupakan diskriminasi tetapi justru sebagai bentuk perlindungan ketat wilayah pesisir dan pulau kecil secara ekologi, sosial,” papar Victor.
Keterangan Warga Pulau Wawonii
Dalam sidang tersebut, hadir pula Harimuddin mewakili Idris, dkk., sebagai 28 warga Pulau Wawonii yang menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini. Pihak Terkait mengungkapkan alil-dalil yang diuraikan pemohon di dalam permohonan hanya berkaitan dengan penerapan atau implementasi suatu undang-undang, bukan berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma.
“Ini jelas sekali terlihat di dalam permohonan pemohon halaman 10 sampai halaman 31 yang kurang lebih pemohon menyampaikan bahwa mereka mengklaim memiliki IUOP, kedua pemohon mengklaim seluruh aspek legalitas, ketiga hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan 35 huruf k UU Pengelolaan Wilayah Pesisir. Perlu kami sampaikan bahwa meskipun ini berkaitan dengan penerapan suatu undang-undang, kami juga ingin menjelaskan kepada Yang Mulia Majelis
Hakim bahwa sebetulnya perizinan yang dimiliki atau diklaim oleh pemohon itu lengkap juga menyampaikan hal yang berbeda dengan yang diklaim pemohon,” terangnya.
Dikatakan Harimuddin, penerbitan kuasa pertambangan Pemohon tersebut tanpa didahului oleh kelayakan lingkungan. Selain itu, Pemohon terlambat melakukan penyesuaian kelayakan lingkungan hidup. Penerbitan IUOP tanpa adanya keputusan kelayakan lingkungan dan tanpa amdal dan tidak disertai izin lingkungan.
“Satu hal yang juga perlu kami tegaskan, IPPH yang selama ini menjadi argumentasi pemohon di dalam melakukan kegiatan di Kabupaten Konawe Kepulauan, di Pulau Wawonii sebetulnya sudah daluwarsa. Di dalam diktum XIII IPPH pemohon yang diterbitkan 18 Juni 2014 oleh Menteri Kehutanan di diktum XIII dikatakan bahwa keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan jangka waktu paling lama sampai tanggal 14 November 2028, apabila jangka waktu 2 tahun sejak ditetapkannya keputusan tidak ada kegiatan nyata di lapangan maka keputusan ini batal dengan sendirinya.
Pada saat persidangan di PTUN Kendari, kegiatan pemohon baru dilakukan pada 2019. Jadi, itu sebetulnya klaim izin yang dimiliki pemohon yang katanya sudah lengkap justru tidak lengkap,” tegas Harimuddin.
Sebelumnya, Pemohon merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014. Pasal UU a quo ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, padahal Pemohon telah memiliki Ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Sehingga menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Pengelolaan Wilayah Pesisir bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan Undang-Undang a quo dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha dibidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Subi Pulau Kecil ini dikapling  WIUP 7 Perusahaan
Peta WIUP di pulau Subi besar yang diterbitkan Kemen ESDM RI

Tujuh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pasir Kuarsa diterbitkan Gubernur Kepri dan Menteri ESDM di Kecamatan Subi. Ini nama perusahaan pemilik ketujuh WIUP di kecamatan di bawah naungan Pemerintah Kabupaten Natuna itu, yakni:

1. Nama: PT Emka Poetra Indonesia. Lokasi Tambang: Kelurahan Subi Besar, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 4.049,38 Hektar. Pejabat Berwenang: Gubernur.

2. Nama: PT Laksana Bumi Bertuah. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar dan Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 2.023 Hektar. Pejabat Berwenang: Gubernur.

3. Nama: PT Bukit Alam Indo. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 94 Hektar. Pejabat Berwenang: Gubernur.

4. Nama: PT Subi Alam Sentosa. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 407 Hektar. Pejabat Berwenang: Gubernur.

5. Nama: PT Bukit Alam Indo. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 99,75 Hektar. Pejabat Berwenang: Menteri.

6. Nama: PT Bina Karya Alam. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 99,95 Hektar. Pejabat Berwenang: Menteri.

7. Nama: PT Natuna Alam Sejahtera. Lokasi Tambang: Desa Subi Besar dan Subi Besar Timur, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Kode Komunitas: Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu. Tahapan Kegiatan: Pencadangan. Luas Wilayah: 98,90 Hektar. Pejabat Berwenang: Menterii ESDM

(red)