19 Februari 2025

Membingkai Keikhlasan dalam Beraktivitas agar Bernilai Ibadah

Oleh : Drs. H. Salman Rasyidin

Oleh : Drs H Salman Rasyidin Wartawan KoranRakyat.co.id/Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Sumsel

Dalam semua amal kebaikan kita  setiap saat sebagai hamba Allah salagi hayat dikandung badan  tentunya sangat  berharap  dan mendambakan agar diterima Allah sebagai amal ibadah. Diterima atau tidak semuanya itu oleh Allah SWT, semua itu adalah ranah otoritas Yang Maha Kuasa. Sebagai HambaNya, kewajiban hanya meleksanakan apa yang diperintahkanNya melalui pesan wahyu dalam Al Quran yang disandingkan dengan Sunnah Rasulullah sebagai petunjuk pelaksanaan.

Dan hal yang sangat penting jadib perhatian, bahwa semua itu   harus dilandasi dan disertai dengan niat yang tulus dan keikhlasan karena Allah SWT semata. Agama Islam ini dibangun di atas dasar realisasi ibadah yang merupakan tujuan manusia diciptakan “Tidak ku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk mengabdi padaKu. Sementara hakekat ibadah itu sendiri tidak akan ada nilai dan bobotnya di Allah SWT kecuali disertai dengan keikhlasan.

Keikhlasan dalam melaksanakan sesuatu dalam perjalanan kehidupan terutama amal ibadah dapat diibaratkan bagaikan ruh dalam badan. Badan atau jasat  tanpa ruh, bisa diibaratkan  bangkai yang tidak bernilai. Allah menyebutkan di dalam salah satu ayat (QS. Al-Bayyinah : 5)

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Ikhlas, bermakna beribadah, beramal hanya karena ingin mengharap ridho Allah SWT.

Seperti firman- Nya (QS An-Nisa : 114) “Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhoan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

Dalam aqidah, ikhlas bermakna bersih dari syirik. Sebagaimana firman-Nya:

“Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku,: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah Rabb Yang Esa”.

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS Al-Kahfi : 110).

Dalam hadits dari Umar bin Khathab Ra yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:  “Sesungguhnya setiap amalan tergantung dari niatnya.

Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau untuk wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya hanya kepada apa yang ia berhijrah kepadanya.”(HR Bukhari dan Muslim).

Al-Khatthabi memberikan penafsiran : “Makna hadits ini, keabsahan amalan dan keberadaan konsekuensinya ditentukan oleh niatnya. Jadi, sesungguhnya niat lah yang mengarahkan amalan.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab Ra berkata,: “Makna al-a’malu bin niat adalah amalan itu menjadi baik atau rusak, diterima atau ditolak, diberi pahala atau tidak, tergantung niatnya.

Jadi, hadits ini menjelaskan tentang hukum syar’i yaitu baik buruknya suatu amalan tergantung baik dan buruknya niat.”

Jadi, kalau ada niat buruk, niat jahat, niat maksiat dari seseorang , maka segala cara, upaya dan tipu daya akan ia kerjakan bahkan rencanakan. Apalagi saat itu  ada kesempatan, maka semakin sempurnalah kejahatannya.

Makanya,  sebagai hamba Allah selalulah berniat dan beritikad baik. Sehingga jika ada sesuatu yang tidak bersesuaian dengan hatinya, banyak rintangan dan cemoohan menghadang, ada kesempatan berbuat maksiat atau hal-hal yang bertentangan nilai-nilai agama. Ia tetap istiqomah dalam kebaikannya, akan selalu ada perlindungan dan bimbingan karena adanya jiwa yang ikhlas.

Ini dikarenakan, keikhlasan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama. Ikhlas dalam arti juga bersih dari dendam, dengki, dan khianat. Seseorang tidak akan bisa mencapai hakekat ikhlas, sampai ia tidak suka dipuji oleh seorang pun atas amalan yang dikerjakannya untuk Allah Swt.

Meninggalkan amalan karena manusia semata yang dimotivasi oleh ingin dapat pujian adalah riya’, dan mengerjakan suatu amalan karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah jika Allah Swt menyelamatkan kita dari keduanya. Orang yang ikhlas dalam melaksanakan sesuatu adalah orang yang dapat merahasiakan kebaikannya, sebagaimana ia merahasiakan keburukannya.

Semua orang pasti akan binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan binasa kecuali orang yang beramal. Orang yang beramal juga akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Seorang ‘alim juga mengatakan, “Ilmu itu laksana benih, sedangkan amal laksana tanaman, dan air adalah ikhlas.”

Sekarang yang jadi persoalan, bagaimana caranya agar kita tetap istiqomah dalam keikhlasan dalam mengabdi pada Allah SWT semata? Di antara caranya adalah seperti banyak disampaikan para Ulama Salafus Sholih, yaitu menerima ketentuan Allah dengan ridho dan baik sangka, memberi tanpa mengharap kembali, memaafkan suatu kedzoliman saat mampu memberikan balasan, menyambung silaturahim kepada orang yang membencinya dan beramal sama baiknya, baik ketika bersama- sama maupun saat sendirian.

Dan juga kita bisa mengakui segala kekurangan diri, siap menerima masukan dan koreksi demi kebaikan, tidak merasa paling berjasa, mendoakan kebaikan orang lain sekalipun orang itu berbuat buruk kepada kita, dan sebagainya.

Tentang latihan ikhlas, dengan gemar memberi, bersodaqoh tanpa berharap kembali, ini dikisahkan, bahwa ‘Ali bin Al-Hushain pernah membawa sekantong roti di atas pundaknya pada malam hari. Lalu ia ber shodaqoh dengannya. Namun tanpa disadarinya, ada sahabatnya yang tahu dan menanyakannya. Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya shodaqoh secara rahasia akan memadamkan kemurkaan Allah Swt”.

Itulah kesuksesan ibadah, seperti dikatakan Muhammad bin Ali At-Tirmidzi, “Kesuksesan di akhirat itu bukan karena banyaknya amalan. Sesungguhnya kesuksesan di sana itu dengan mengikhlaskan amalan dan memperbaikinya.”

Begitu pentingnya keikhlasan ini, ia disetarakan dengan doa dan sholat. Seperti disebutkan di dalam hadits:  “Sesungguhnya Allah menolong umat ini adalah dengan sebab doa, shalat, dan keikhlasan orang- orang yang lemah dari umat ini.” (HR An-Nasa’i).

Dalam perjuangan umat Islam, yang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, satu Jama’ah dan dengan satu Imamnya, maka semuanya harus memiliki jiwa keikhlasan dalam kehidupan berjamaah.

Ikhlas memimpin dan ikhlas dipimpin, ikhlas menasihati dan ikhlas pula dinasehati.

Ikhlas seperti ketika Panglima Khalid bin Walid diberhentikan dari jabatannya dengan hormat oleh Khalifah Umar bin Khattab, karena khawatir kultus individu dari umat.

Maka, Khalid tetap berjuang di jalan Allah.

Ketika ditanya, mengapa tetap berjuang dengan sungguh-sungguh, padahal sudah tidak menjabat sebagai panglima perang lagi. Ia menjawab dengan ikhlas, “Saya berjuang bukan karena Umar, tapi karena Tuhannya Umar”.

Itulah makna ikhlas.

Seperti juga disebutkan oleh Rasulullah Saw di dalam sabdanya : “Hati seorang mukmin tidak akan dimasuki dendam dengan sebab tiga perkara yaitu ikhlas dalam amal untuk Allah; memberi nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin; menetapi jamaah mereka, karena sesungguhnya doa mereka meliputinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Banyak ulama yang menyebut bahwa beberapa di antara tanda ikhlas dalam berbuat. Pertama adalah istiqamah, terus-menerus dalam ibadah, baik di saat ada maupun tidak ada orang, dipuji atau dihina. Kedua, tidak ‘ge-er’ karena pujian manusia dan tidak sakit hati karena mendengar hinaan.

Dan yang ketiga, pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah SWT dengan rahmat, ilmu, dan kebijakan-Nya sehingga tampaklah pada wajahnya yang selalu ter¬se-nyum. Dan tanda keempat, selalu berbaik sangka dengan selalu memuji Allah SWT atas se-gala peristiwa dan kejadian-Nya. Kelima, qanaah, puas bukan hanya dengan nikmat Allah, melainkan atas segala keputusan Allah SWT.

Berikutnya at-tawadhu’ (rendah hati), lalu  asy-syahiyyu (ringan tangan) untuk memberi. Selanjutnya, bersemangat hanya pada yang halal karena orientasi hidupnya selalu orientasi  akhirat. Selalu memaafkan dengan mendoakan orang yang menyakiti, kalaupun dipuji ia balas dengan iringan doa.

Hobi dan kesibukannya adalah bermuhasabah diri dan tidak tertarik mencari aib, kelemahan dan kesalahan orang lain dalam pergaulan dan tutur lisannya secara terus menerus dengan kalimah zikir, istighfar, dan bershalawat kepada hanya Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Hati yang salalu berisi tekad menghidupkan dan mengamalkan sunnah harian Rasulullah SAW. Dan, mudah menitikkan air mata ketika sedang dalam puncak kenik-matan menjalankan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.