21 September 2024

Wujudkan Keikhlasan dalam Mencapai Tujuan

Oleh : Drs H Salman Rasyidin

Mantan Wartawan  Sriwijaya Post/Pengurus Dewan Pendidikan Sumsel

Dalam kehidupan  keseharian, kita cukup banyak mendengar tuturan dari berbagai kalangan, baik dari  pendakwah, tenaga pendidik maupun masyarakakat  kebanyakan tentang  ikhlas.

Ungkapan kata ikhlas begitu gampang  meluncur  dalam  berbagai percakapan baik saat menerima suatu  fakta kehidupan, maupun landasan seseorang dalam berbuat.

Selama ini seseorang yang berbuat tanpa pamrih dan lillahi ta’ala akan terlihat dari perjalanan suatu proses yang dijalani. Setidaknya saat hasil  akhir dari suatu proses yang berjalan itu sangat  berbeda dan bertolak belakang dengan yang diharapkan, akan sangat terlihat saat responnya dalam meng­hadapi hasil akhir.

Begitu juga tatkala menerima fakta dalam kehidupan seseorang dengan yang menja-laninya dengan penuh kepasrahan terhadap apa yang ditakdirkan  Allah SWT  pada hambaNya.

Sebagaimana yang pernah disitir Rasulullah, Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya bahwa  “Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuh umat manusia dan tidak pula melihat ketampanan wajahnya, tetapi Allah melihat keikhlasan hati hambaNya.” (HR. Muslim).

Dalam  suatu pemahaman diilustrasikan bahwa “Satu keberhasilan yang  dilandasi dengan ikhlas yang purna dan  yang disengaja, akan memberikan pemahaman berserah diri yang nyata dan tak tergoyahkan”. Sering  terucap “Aku harus ikhlas.” atau “Sudahlah, kamu ikhlas saja,” dalam ungkapan bijak saat seseorang memberikan nasihat tatkala ada musibah  menimpanya.

Kalimat-kalimat seperti di atas sangat sering kita dengar dan terucap, bahkan kita ucapkan. Tapi, apakah sudah kita mampu memahami,  memaknai serta mengaplikasikan makna ke-ikhlasan dalam kehidupan keseharian?

Makna ikhlas ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kata khalusho, yang berpengertian yaitu kata kerja intransitif yang bermakna bersih, jernih, murni, suci atau bisa juga diartikan tan-pa noda atau campuran. Ikhlas menurut bahasa berarti sesuatu yang murni tidak tercampur dengan hal yang bisa merubahnya. Dalam al Qur’an surat  An Nahl ayat  66 Allah SWT meng¬ilustrasikan bahwa “Dan sesung¬guhnya pada binatang ternak itu benar-benar ter-dapat pelajaran yang berharga bagi kamu. Kami beri minum dari apa yang ada dalam pe-rutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”

Pada ayat di atas Allah SWT telah memberikan pelajaran bagi kita yang menggunakan akal melalui  hewan ternak. Betapa dia telah memisahkan susu dari campuran kotoran dan darah, padahal ketiganya berada dalam satu wadah yang sama yaitu perut.

Demikian pula makna ikhlas, yakni sesuatu yang bersih dan murni dari segala campuran. Dikatakan bahwa madu itu murni jika sama sekali tidak dicampur dengan campuran dari luar. Ikhlas itu bening seperti embun yang selalu hadir setiap pagi. Begitu tinggi nilai sebuah keikhlasan dalam kehidupan baik hablum minannas maupun hablumminallah  hingga ditetapkan bahwa keikhlasan dalam ber­iba­dah adalah kunci diterimanya ibadah manusia.

Seorang hamba Allah yang ikhlas dalam menjalani kehidupan akan memiliki kekuatan ru-hiy¬ah yang besar, seakan menjadi pancaran energi yang melimpah. Maka bukanlah ke¬sa-baran jika masih berbatas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasa sakit hati. Kebaikan kita mungkin akan dilupakan orang, tapi tetaplah berbuat dengan ikhlas. Perbuatan yang ikhlas itu ada diantara kita dan Allah. Jika ikhlas, pahit maupun manis suatu pekerjaan, se-mangat maupun malas, gembira maupun sedih, Anda akan selalu melakukannya.

Maka sungguh beruntung mereka yang amalnya ikhlas karena Allah semata bukan karena ada karena hasrat duniawi. Sehingga, dia akan selamat dari tujuan selain Allah dan terjauh dari tujuan duniawi. Jika kamu berbuat dengan ikhlas, maka itu akan kembali pada dirimu sendiri.

Sesungguhnya  Allah tidak memandang amalan yang banyak dari seorang hambaNya, tapi Allah melihat amalan yang ikhlas yang dilaksanakan. Sedangkan ikhlas itu rahasia Allah SWT. Hanya Allah yang tahu. Bila kita coba ilustrasikan, keikhlasan mempunyai kilau dan sinar, meskipun ribuan mata tidak melihatnya. Keikhlasan itu diumpamakan laksana semut hitam diatas batu hitam di malam yang amat gelap. Wujudnya ada walau tak terlihat.

Karena sifatnya yang tersembunyi dari bau riya, keikhlasan itu kadang terlihat jauh dari jangkauan. Namun begitu, menggapai dan meraihnya bukanlah hal yang mustahil, walau tidak bisa dikatakan mudah. Tiada kata menyerah untuk meraih keikhlasan dan keba-hagiaan. Hati yang ikhlas tidak akan silau dengan pujian.

Suatu ketika secara khusus Imam Al Ghazali dalam pesannya menyebut bahwa ikhlas adalah sebuah keharusan. “Semua orang binasa kecuali yang berilmu. Semua yang berilmu binasa, kecuali yang beramal. Semua yang beramal binasa kecuali yang ikhlas.”

Sekarang kita sebagai hambaNya sampailah pada titik tanya, dimana kita cari keikhlasan ? Dan apakah ikhlas itu sudah mewarnai setiap gerak dan langkah dalam kehidupan. Ternyata jawabannya cukup sederhana, ada dalam diri kita sendiri. Ikhlas adalah sebentuk software yang secara fitrah sudah ada dalam diri kita bahkan sejak bayi. Ikhlas memiliki tempat tersendiri dalam diri (Zona Ikhlas). Sebuah keajaiban terjadi karena ketika sese-orang ikhlas berserah diri, sesungguhnya ia sedang menyelaraskan pikiran dan perasaannya dengan kehendak Ilahi. Hal itu menghasilkan kolaborasi niat yang luar biasa pada level kuantum di zona ikhlas. Saat itulah, terjadi kemudahan dari Allah. Sering kita sebut keajaiban, seolah otomatis hadir dalam hidup kita.

Segala kemudahan yang didapat dari keikhlasan yang kita akses tidak mungkin dapat di-rasakan jika kita tidak memiliki kesadaran yang cukup. Kita hanya akan menganggapnya sebuah kebetulan. Karena itu, ketika seseorang secara sadar menggunakan keikhlasan dalam setiap tatanan kehidupannya, berbagai kemudahan seakan mengalir tanpa hambatan. Dan kesadaran inilah yang menjadikannya ketagihan menggunakan ikhlas sebagai ke-kuatan.

Maka alangkah tepat ketika As Syahid Hasan Al Banna berucap: “Ikhlas itu kunci keber-hasilan. Para salafus salih yang mulia tidak menang kecuali karena ada kekuatan iman, kebersihan hati dan keikhlasan mereka.”

Nilai Keikhlasan

Dalam sebuah nukilan riwayat digambarkan dalam sebuah dialog pemuka Syam dengan Abu Hurairah RA. “Tuan guru, ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tuan dengar langsung dari baginda Rasulullah SAW,” kata salah seorang pemuka Syam kepada Abu Hurairah RA. “Sesung­guhnya manusia yang pertama kali akan diadili —pada pengadilan akhirat nanti, adalah seseorang yang mati dalam peperangan  (mati syahid), dermawan, dan qori,” jawab Abu Hurairah mengutip ha­dis Rasulullah SAW.

Abu Hurairah berkata, “Dihadapkanlah orang tersebut kepada Allah SWT, lalu disodorkan amalannya dan Allah pun Maha Mengetahuinya.” Kemudian, Allah SWT bertanya, “Apa saja yang kamu kerjakan ketika di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Saya berperang di jalan-Mu ya Allah, sampai-sampai saya mati terbunuh.”

Allah berfirman, “Kamu bohong, yang benar kamu berperang supaya kamu dapat dikatakan sebagai ‘pahlawan’ dan mereka telah menyebutmu demikian.” Lalu, Allah memerintahkan malaikat untuk menyingkirkan orang tersebut dari hadapan-Nya dan melemparnya ke dalam neraka. Kemudian Allah menanyakan orang yang dermawan,  “Apa yang kerjakan di dunia?”. Sang dermawan menjawab:”Aku menghabiskan hartaku di jalan-Mu ya Allah.

Allah berfirman: “Kamu bohong, yang kamu lakukan hanyalah untuk dikatakan sebagai orang yang paling murah hatinya”.  Kemudian, orang tersebut dimasukkan ke neraka. Kemudian, ditanyakan kepada sang Qori’, “Apa yang kamu lakukan selama di dunia?” Sang Qori’menjawab, ‘aku membaca dan mengajarkan Kitab-mu kepada manusia ya Allah. Allah berfirman:’Kamu berbohong. Kamu melakukan semua itu  hanyalah ingin disebut sebagai Qori’ atau orang yang alim. Lalu, si qori’ tersebut diseret ma­laikat ke neraka.’

Kalau ditelisik secara cermat, rahasia ikhlas dalam diri seseorang berbuat ternyata benar-benar tak seorang pun yang tahu. Hanya Allah SWT yang benar-benar mengetahuinya, “Sirrun min asrariy, rahasia di antara rahasia-Ku,” kata sebuah hadis Qudsi.

Banyak ulama yang menyebut bahwa beberapa di antara tanda ikhlas dalam berbuat. Pertama adalah istiqamah, terus-menerus dalam ibadah, baik di saat ada maupun tidak ada orang, dipuji atau dihina. Kedua, tidak ‘ge-er’ karena pujian manusia dan tidak sakit hati ka¬rena mendengar hinaan.

Dan yang ketiga, pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah SWT dengan rahmat, ilmu, dan kebijakan-Nya sehingga tampaklah pada wajahnya yang selalu terse-nyum. Dan tanda keempat, selalu berbaik sangka dengan selalu memuji Allah SWT atas se-gala peristiwa dan kejadian-Nya. Kelima, qanaah, puas bukan hanya dengan nikmat Allah, melainkan atas segala keputusan Allah SWT.

Berikutnya at-tawadhu’ (rendah hati), lalu  asy-syahiyyu (ringan tangan) untuk memberi. Selan­jutnya, bersemangat hanya pada yang halal karena orientasi hidupnya selalu orientasi  akhirat. Selalu memaafkan dengan mendoakan orang yang menyakiti, kalaupun dipuji ia balas dengan iringan doa.

Hobi dan kesibukannya adalah bermuhasabah diri dan tidak tertarik mencari aib, ke¬le¬mah-an dan kesalahan orang lain dalam pergaulan dan tutur lisannya secara terus menerus dengan kalimah zikir, istighfar, dan bershalawat kepada hanya Nabi Muhammad Ra¬su-lullah SAW. Hati yang salalu berisi tekad menghidupkan dan mengamalkan sunnah harian Rasulullah SAW. Dan, mudah menitikkan air mata ketika sedang dalam puncak kenik-matan menjalankan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.