Tragedi Kanjuruhan Jangan Matikan Dunia Sepakbola
Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM.
(Wartawan/Pengamat Sosial dan Politik tinggal di Indralaya, Ogan Ilir, Sumsel).
SEPAK BOLA nasional bahkan dunia berduka. Peristiwa sangat mengenaskan terjadi usai derby Jawa Timur yang mempertemukan dua musuh bebuyutan tuan rumah AREMA Malang versus rival abadinya PERSEBAYA Surabaya.
Sebetulnya pertandingan liga Indonesia yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang tersebut, berlangsung normal tapi seru, seperti pertandingan derby pada umumnya. Penonton yang menyaksikan juga ramai memenuhi stadion kebanggaan Aremania itu.
Mulai dari orang dewasa, remaja, perempuan bahkan ada anak-anak. Sorak-sorai penontonpun membahana, memberi semangat tim kesayangan mereka. Walau memang pendukung Arema sangat dominan, maklum mereka sebagai tuan rumah. Pertandingan berjalan relatif seimbang sehingga enak ditonton, dengan serangan silih berganti. Tapi hasil akhir menunjukkan tuan rumah Arema harus mengakui keunggulan Persebaya dengan score tipis 3 ; 2 untuk kemenangan bajul ijo Persebaya.
Setelah wasit meniup pluit panjang, ratusan pendukung Arema menyerbu ke tengah lapangan pertandingan. Hal tersebut mengagetkan panitia pertandingan dan aparat keamanan. Mereka berusaha menghalau penonton yang menyerbu ke lapangan pertandingan tersebut. Tapi penonton yang merupakan pendukung fanatik tersebut makin banyak dan terlihat beringas.
Aparat pun memberikan tembakan peringatan ke udara, dan menyemprotkan gas air mata baik ke penonton yang merangsek ke lapangan, maupun ke tribun penonton. Akibatnya penonton panik, banyak penonton yang berusaha menghindar dengan berlari ke arah pintu keluar. Celakanya sebagian besar penonton menuju ke satu pintu. Maka terjadilah desak-desakan, dan saling dorong diantara mereka. Ada yang terhimpit, terjatuh dan terinjak-injak.
Kondisi semakin parah karena mereka banyak yang mengalami sesak napas akibat semprotan gas air mata. Korban pun berjatuhan, tentu terbanyak para pendukung Arema.
Berdasarkan keterangan terkini, jumlah korban yang meninggal sebanyak 129 orang, dua diantaranya anggota Polri. Dari jumlah tersebut sebanyak 34 orang yang meninggal di area stadion, dan selebihnya menghembuskan napas di sejumlah rumah sakit.
Yang meninggal usianya beragam mulai dari pria dewasa, perempuan, remaja bahkan ada anak-anak. Umumnya mereka yang meninggal tersebut akibat terinjak-injak dan sesak napas karena kekurangan oksigen.
Bukan hanya korban meninggal, sejumlah kendaraan dan fasilitas publik mengalami kerusakan. Diantara kendaraan yang dirusak, 10 diantaranya mobil dinas dan terbanyak milik Polri. Tapi perlu dicatat bahwa Tragedi Kanjuruhan ini bukan tawuran atau bentrok antar suporter. Melainkan karena akibat dari berdesak-desak sehingga ada yg terinjak-injak serta kurang oksigen.
Tentu peristiwa ini sangat memilukan dan memalukan dunia sepakbola Indonesia. Padahal saat ini Timnas Indonesia tengah naik daun. Timnas U-19 lolos ke Piala Asia tahun 2023 di Uzbekistan. Lalu Timnas U-16 menjuarai turnamen AFF, dan Timnas senior berhasil mengalahkan Tim Curacao yang levelnya di rangking FIFA jauh di atas Indonesia.
Indonesia juga ditunjuk dan dipercaya oleh FIFA dan AFC sebagai tuan rumah Kejuaraan Dunia Sepakbola Usia 20 tahun (World Cup U-20) tahun 2023. Akankah kepercayaan tersebut masih diberikan? Kalau seandainya dibatalkan oleh FIFA tentu sangat merugikan Indonesia, karena untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah sepakbola kelas dunia, dan untuk pertama kalinya pula Timnas akan tampil di kejuaraan dunia, walau melalui jalur jatah sebagai tuan rumah. Tapi ini tentu merupakan kesempatan emas yang sulit terulang.
Mengapa tragedi Kanjuruhan bisa terjadi? Sebetulnya fanatisme suporter atau penonton sangat dibutuhkan dalam dunia sepakbola. Suporter merupakan kekuatan lain yang bisa mendorong sebuah tim memenangkan pertandingan. Dan suporter Indonesia diakui dunia. Bukan hanya pendukung Timnas atau club-club dalam negeri. Club-club terbaik khususnya di Liga eropa, banyak sekali suporter fanatik atau fans asal Indonesia, walau mereka mayoritas menyaksikan pertandingan hanya melalalui layar televisi.
Suporter fanatik tersebut bukan hanya di Indonesia, tetapi di negara-negara maju pun justru tambah luar biasa. Lihatlah liga-liga di Benua Biru selalu dipadati penonton. Mereka bukan hanya duduk diam, tetapi juga beraksi dan bersorak menyemangati tim kesayangan mereka. Kendati demikian jarang sekali terdengar mereka rusuh, apalagi sampai mengakibatkan korban jiwa.
Peristiwa naas di Eropa hanya terjadi belasan tahun lalu, ketika final Liga Champion yang mempertemukan dua tim kuat saat itu… Juventus (Italy) vs Liverpool (England). Saat itu para suporter fanatik Inggris yang dikenal dengan sebutan Hooligan bikin ulah yang menyebabkan sekitar 90 orang tewas. Ini peristiwa naas terbesar sepanjang sejarah sepakbola dunia.
Nah kejadian yang memakan korban lebih besar, justru terjadi di negeri kita, Indonesia. Negeri yang dikenal dengan masyarakatnya yang ramah, serta memegang adab ketimuran. Sungguh ironis, sebanyak 129 harus meregang nyawa karena menonton sepakbola.
Kini ibarat pepatah klasik ; Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tak mungkin bisa dikembalikan lagi. Namun tugas pemerintah, PSSI, dan pengurus klub, untuk memperbaiki kondisi ke depan, supaya tragedi serupa tak terulang lagi.
Sudah saatnya para suporter dibina lebih intensif. Sikap fairplay dan budaya sportifitas bukan hanya untuk para atlet/pemain. Klau pemain sepakbola profesional kita, alhamdulillah saat ini sudah semakin baik. Sudah jarang terlihat tawuran di lapangan.
Tapi penonton dan suporter yang justru jauh dari sikap tersebut. Karena itu pembekalan akan nilai-nilai sportifitas, sikap legowo dan dewasa dalam menerima kekalahan, perlu terus ditanamkan tanpa henti. Jangan sampai sikap fanatisme salah arah yang ujungnya merugikan banyak orang, bahkan merusak dunia sepakbola.
Sikap dan nilai-nilai sportifitas ini harus terus digelorakan bagi para suporter. Akan lebih baik lagi kalau pimpinan-pimpinan suporter, dibuatkan agenda-agenda bersama guna semakin mengakrabkan mereka.
Selain itu juga untuk pertandingan yang sering rusuh atau tensinya panas, sebaiknya dijaga super ketat dan lokasi pertandingan dicarikan tempat yang netral. Kalau kita amati selain Persebaya vs Arema, pertandingan antara Persija Jakarta vs Persib Bandung selalu berlangsung dengan tensi tinggi bahkan choas antara para pendukungnya. Jakmania dan Bebotoh sering terkesan seperti ‘Kucing dan Anjing’, kalau berhadapan selalu cakar-cakaran.
Selain fanatisme yang terlalu serta musuh bebuyutan, hal lain yang bisa saja menyebabkan para suporter yang kalah marah, terkadang diboncengi oleh para penjudi. Penjudi tersebut bisa saja juga memberi iming-iming kepada para suporter bila klub yang didukungnya menang. Sehingga bila ternyata kalah maka timbul rasa kecewa yang berlebihan, dan akhirnya emosional dan lepas kontrol.
Tapi peristiwa seperti ini kendati sangat mengenaskan dan memprihatinkan, tidak boleh juga disikapi dengan merugikan dunia sepakbola nasional. Kompetisi sepakbola harus terus berlangsung dengan terus melakukan pembenahan yang diperlukan.
Kalau pun harus diberi sanksi maka tetap harus proporsional dan adil. Yang memang bersalah wajar diberi sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tapi kalau sikap yang diambil sifatnya akan membunuh dunia sepakbola kita, misalnya menghentikan atau menutup kompetisi sebaiknya tidak dilakukan Sebab ketahuilah orang yang hidup dari sepakbola dan rangkaiannya sangat banyak. Karena itu ariflah dalam membuat keputusan/kebijakan.(*)