Azyumardi, Ilham dan ‘Fatwa Dungu’
Tulisan Pepih Nugroho, Wartawan Kompas di FB hari ini.
Geram benar rupanya Ilham Bintang atas “blunder” yang dilakukan Dewan Pers terkait larangan kepada wartawan mewawancara sumber lain selain polisi terkait kasus “penembakan antaraparat” yang menewaskan seorang anggotanya.
Larangan yang disebut Ilham sebagai “Fatwa Dungu” dalam sebuah tulisannya itu menunjukkan kejengkelan yang luar biasa dan secara hermeneutis kata “dungu” terang benderang merupakan cermin kegeraman itu.
Selaku Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Ilham berinisiatif membuka konsultasi dengan Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra, kemudian menyampaikan semacam “komunike” atau “joint statement” terkait “Fatwa Dungu” yang ia sebut “blunder” dan telanjur tersebar ke publik itu.
“Fatwa ini jelas dungu,” tulis Ilham, “justru karena informasi resmi dari kepolisian itulah yang digugat masyarakat. Ini jelas ngawur dan blunder. Tidak ada pasal dalam Undang-undsng Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang membenarkan fatwa itu.”
Masih menurut Ilham, “Malah, Undang-undang Pers itu menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi pers, tindak penyensoran, apalagi pembreidelan.”
Berkebalikan dengan “fatwa larangan”, inti pernyataan bersama Dewan Pers-DK PWI itu justru mendorong seluruh wartawan melakukan “investigative reporting” (liputan mendalam) untuk menyingkap fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini.
Dalam tulisan itu Ilham mengingatkan adanya Telegram Kapolri tahun lalu yang semula melarang wartawan untuk menyiarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi dalam melaksanakan tugas, akan tetapi Kapolri cepat memahami bahwa itu lebih urusan internalnya.
Maka, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram ST/759/IV /HUM.3.4.5./2021 tertangal 6 April 2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Kapolri juga meminta maaf kepada jajaran pers.
Pernyataan bersama itu mengingatkan wartawan agar bekerja menurut prinsip kerja jurnalistik secara profesional, yaitu mentaati Undang-undang Pers Nomor 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Di dalam Undang-undang Pers itu, katanya, tidak ada pembatasan bagi wartawan untuk mengumpulkan informasi sebanyak- banyak dari manapun demi mencari kebenaran. “Yang penting, semua informasi melalui proses verifikasi atau cek dan ricek sebelum disiarkan.”
Pasal 2 butir “H” KEJ menyebutkan, penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Namun, wartawan juga tetap diminta menghormati hak privasi;
menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara; dan menyajikan berita secara berimbang.
“Dengan peliputan secara mendalam dan menyeluruh seperti itu wartawan dapat berperan besar membantu pihak berwajib mengungkap peristiwa yang menjadi sorotan masyarakat luas, ” kata Azyumardi Azra dan Ilham Bintang lewat pernyataan bersamanya itu.
Selaku orang yang sudah berada di luar orbit institusi kewartawanan maupun media, beberapa waktu lalu saya menulis tentang “keprihatinan” atas “blunder” Dewan Pers yang saya beri judul “Dewan Pers dan Kesedihan Habermas”, sebuah tulisan iseng saja sebenarnya namun rupanya cukup mendapat perhatian orang-orang pers juga.
Salah seorang petinggi Dewan Pers berkirim pesan lewat WA dan membuka komunikasi secara simpatik. Saya katakan, kritik saya mungkin terlalu pedas, tetapi berangkali level kegusarannya kurang lebih sama dengan Ilham Bintang. Bedanya Ilham masih berada di institusi pers, saya sudah di luar orbit yang ringan saja dalam menyampaikan pikiran apapun.
Kritik saya bukan karena didasari kebencian, tetapi adalah hak saya sebagi orang biasa mengkritik sebuah dewan yang dibiayai negara, dibiayai uang rakyat. Maksudnya untuk perbaikan.
Toh, yang penting Dewan Pers telah menyadari kekeliruannya dan segera menyampaikan “ralat” lewat “joint statement”.
Next time better…, Gens una sumus! (Pepih Nugroho)