Repatriasi Serge Atlaoui: Sebuah Dialektika Hukum dan Diplomasi dalam Menjaga Martabat Kedaulatan

Oleh: Ahmad Usmarwi Kaffah. SH., LL.M., LL.M., PhD
Staf Khusus Bidang Urusan Luar Negeri, Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
KoranRakyat.co.id — Dalam panggung peradaban yang tak henti-hentinya mempertemukan kepentingan negara-negara berdaulat, kasus repatriasi Serge Atlaoui bukan sekadar sebuah episode hukum positif, melainkan sebuah ujian bagi negara dalam merawat prinsip kedaulatan sambil tetap mengakui irama harmoni diplomasi global. Kasus ini, dalam hakikatnya yang paling dalam, menggambarkan betapa hukum dan politik tidaklah berdiri sebagai dua pilar yang terpisah, melainkan berkelindan dalam mozaik peradaban yang terus bergerak menuju negosiasi antara legitimasi kekuasaan dan tuntutan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan yang mengemban tanggung jawab di ranah hubungan luar negeri, saya menyaksikan secara langsung bagaimana negosiasi antara Indonesia dan Prancis berjalan bukan hanya dalam spektrum rasionalitas hukum yang rigid, tetapi juga dalam dialektika politik yang kompleks, di mana kedaulatan tidak boleh tunduk pada tekanan eksternal, namun juga tidak boleh membeku dalam dogma yang menutup ruang bagi pertimbangan kemanusiaan dan harmoni diplomasi.
Sejak awal, Prancis bersikukuh bahwa hukuman mati bertentangan dengan doktrin moralitas politiknya, sementara Indonesia berdiri tegak dalam prinsip bahwa keadilan, dalam sistem peradilan yang berdaulat, harus ditegakkan tanpa terkecuali. Dua poros pemikiran ini seakan berdiri di persimpangan yang sulit untuk dipertemukan. Namun, dalam dinamika internasional, hukum tidak dapat diartikan dalam satu dimensi statis, melainkan harus dipahami sebagai entitas yang selalu bergerak dalam dialektika antara keadilan normatif dan pragmatisme geopolitik.
Dalam berbagai perundingan yang saya hadiri, tantangan terbesar bukanlah sekadar menemukan celah dalam regulasi atau membuka ruang bagi tafsir hukum yang memungkinkan repatriasi, melainkan bagaimana merawat integritas sistem peradilan nasional tanpa menutup ruang bagi negosiasi yang konstruktif. Diplomasi hukum bukan hanya soal menegosiasikan batas-batas peraturan tertulis, tetapi juga memahami bahwa hukum itu sendiri adalah ekspresi dari kehendak sebuah bangsa untuk mempertahankan eksistensinya dalam komunitas global.
Setiap dialog dengan perwakilan Prancis mengandung elemen tarik-menarik antara logika kekuasaan dan moralitas politik. Indonesia, sebagai sebuah entitas yang berdaulat, tidak dapat membiarkan hukumannya dipengaruhi oleh intervensi asing, tetapi dalam waktu yang sama, kebijakan luar negeri yang bijak harus mampu membaca realitas bahwa hubungan internasional tidak hanya bergerak dalam bingkai kepentingan nasional yang sempit, melainkan juga dalam keseimbangan strategis yang lebih luas.
Puncak negosiasi terjadi ketika Prancis secara resmi mengajukan permohonan repatriasi bagi Atlaoui dengan dalih bahwa sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, mereka memiliki kewajiban moral untuk membawa warganya kembali dan memastikan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak berujung pada vonis yang bertentangan dengan nilai-nilai universal yang mereka anut. Di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana Indonesia dapat merespons tuntutan ini tanpa mereduksi martabat kedaulatan hukumnya.
Setelah melewati serangkaian diskusi yang mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk implikasi bagi hubungan bilateral di masa depan, akhirnya ditemukan suatu titik temu di mana kepentingan kedua negara dapat bertemu dalam sebuah kompromi yang tetap menjaga integritas masing-masing sistem hukum. Kesepakatan ini tidak lahir dari sikap saling menundukkan, tetapi dari kesadaran bahwa dalam diplomasi, keunggulan bukanlah soal siapa yang menekan lebih kuat, melainkan siapa yang dapat merumuskan solusi yang berdaya tahan dalam lanskap politik internasional.
Dalam perspektif yang lebih luas, pengalaman ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia dalam merumuskan pendekatan hukum internasional di masa depan. Kita tidak bisa lagi sekadar berpikir dalam terminologi hukum yang terpisah dari arus besar geopolitik, tetapi harus memahami bahwa setiap keputusan hukum yang diambil dalam konteks global selalu memiliki resonansi yang melampaui batas teritorialnya. Hukum nasional, meskipun berdaulat, tetap berada dalam pusaran besar interaksi hukum internasional yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Dengan memahami bahwa diplomasi hukum bukan hanya tentang mempertahankan norma nasional, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi negosiasi yang bermartabat, Indonesia dapat terus memainkan perannya sebagai negara yang tidak hanya tegas dalam menegakkan hukumnya, tetapi juga cerdas dalam membaca dinamika hubungan antarnegara. Kasus Atlaoui adalah cerminan dari bagaimana hukum harus diletakkan dalam dialektika yang lebih luas —bukan hanya sebagai perangkat koersif, tetapi sebagai instrumen yang mampu menavigasi kompleksitas dunia modern dengan keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme.
Ke depan, Indonesia harus terus memperkuat mekanisme hukum yang memungkinkan terjadinya negosiasi lintas negara tanpa harus mengorbankan prinsip fundamentalnya. Dunia semakin terhubung, dan dengan keterhubungan itu muncul tantangan-tantangan baru yang membutuhkan kebijaksanaan dalam mengelola hukum di tengah tekanan politik global. Yang harus selalu diingat adalah bahwa hukum, pada akhirnya, bukanlah sekadar teks di atas kertas, tetapi sebuah ekspresi dari jiwa suatu bangsa dalam mempertahankan eksistensinya di panggung dunia.(*)