Presiden Trump dan Gaza: Nafsu Kekuasaan, Pusaran Sejarah, dan Keabadian Perlawanan

Ahmad Usmarwi Kaffah. SH., LL.M., LL.M.,PhD
Staf Khusus bidang Luar Negeri Menko Hukum Ham dan Imigrasi permasyarakatan
KoranRakyat.co.id —Sejarah adalah panggung bagi nafsu manusia yang tak pernah terpuaskan, sebuah labirin tempat kehendak untuk berkuasa bertemu dengan hasrat untuk bertahan. Setiap zaman melahirkan tokohnya sendiri—mereka yang ingin menguasai, dan mereka yang menolak ditaklukkan. Dalam arus waktu yang tak mengenal belas kasihan, Gaza adalah saksi yang terus berdiri di persimpangan, di antara reruntuhan dan harapan. Kini, dalam gelombang politik yang tak pernah diam, muncul kembali sosok yang ingin menuliskan ulang takdirnya dengan tinta imperialisme: Donald Trump.
Trump, seorang tokoh yang meyakini bahwa dunia adalah cermin dari kehendaknya, melihat Gaza bukan sebagai rumah bagi manusia, bukan sebagai tanah yang berdenyut dengan kehidupan, tetapi sebagai sekadar objek—sebidang ruang yang bisa direkayasa sesuai dengan ambisinya. Dalam pikirannya, Gaza bukanlah suara, bukan sejarah, bukan penderitaan yang menumpuk berlapis-lapis dalam ingatan generasi, melainkan sebatas perhitungan politik belaka. Seperti para imperium yang datang sebelum dirinya, Trump mengira bahwa tanah dapat dimiliki dengan dokumen dan kekerasan, bahwa batas-batas bisa digambar ulang sesuai dengan keinginan mereka yang lebih kuat.
Namun, sejarah adalah pengadilan yang tak pernah lupa. Gaza telah melihat begitu banyak penakluk datang dan pergi, membawa serta ambisi mereka yang meledak seperti ombak, hanya untuk kemudian surut dan menghilang. Sejak zaman Firaun, sejak serangan Aleksander Agung, sejak Kekaisaran Ottoman, sejak para jenderal Eropa yang membagi dunia dalam peta-peta tanpa hati—Gaza telah menjadi titik temu antara keinginan dan perlawanan. Mereka yang percaya bahwa mereka bisa memiliki Gaza, pada akhirnya hanya meninggalkan jejak kaki di pasir yang akan tersapu oleh waktu.
Dalam labirin filsafat politik, ada pertanyaan mendasar yang selalu menghantui: apakah kekuasaan dapat bertahan jika ia dibangun di atas ketidakadilan? Machiavelli, dalam Il Principe, mungkin berargumen bahwa seorang penguasa harus berani menggunakan kekuatan untuk mempertahankan tahtanya. Tetapi bahkan ia pun mengingatkan bahwa kekuatan tanpa legitimasi adalah bara dalam sekam, menunggu waktu untuk membakar mereka yang menggunakannya dengan sembrono. Trump, dengan segala kebijakan yang ia anggap sebagai strategi jitu, lupa bahwa tanah bukan hanya sebatas wilayah yang bisa diukur, tetapi juga tentang jiwa-jiwa yang menghuninya.
Camus pernah berkata bahwa “pemberontakan itu sendiri adalah kemenangan.” Gaza adalah pengejawantahan dari kutipan itu—sebuah perlawanan yang tak mengenal titik akhir, sebuah luka yang tak bisa dihapus hanya dengan kebijakan dan kekuatan militer. Jika Trump benar-benar berusaha mencaplok Gaza, ia tidak sedang berurusan dengan sebidang tanah, tetapi dengan sejarah, dengan kemanusiaan, dengan prinsip bahwa tak ada manusia yang ingin hidup dalam belenggu.
Dunia telah melihat banyak kisah seperti ini sebelumnya. Dari kolonialisme yang merajalela di abad ke-19 hingga penindasan yang disaksikan oleh abad ke-20, kisah mereka yang berusaha mencaplok, menguasai, dan menghapus selalu berakhir dengan pola yang sama: kesewenang-wenangan melahirkan perlawanan, dan perlawanan menciptakan sejarah baru. Gaza mungkin miskin, mungkin terkepung, mungkin rapuh dalam ukuran kekuatan militer, tetapi ia memiliki sesuatu yang lebih kuat daripada rudal dan peta politik: keinginan untuk tetap ada.
Trump, dalam kefanatikannya terhadap kekuasaan, lupa bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada dominasi. Ia percaya bahwa politik adalah permainan catur, di mana pion dapat dikorbankan demi kemenangan yang lebih besar. Tetapi Gaza bukan pion. Gaza adalah roh yang menolak untuk dipindahkan dari papan, sebuah simbol dari keyakinan bahwa tanah bukanlah benda mati, bahwa rumah bukan sekadar bangunan, bahwa hidup memiliki makna lebih dari sekadar tunduk pada mereka yang lebih kuat.
Lantas, bagaimana dengan dunia? Apakah dunia akan kembali menjadi saksi bisu dalam lembaran sejarah yang baru ini? Ataukah ada suara yang berani menantang narasi bahwa yang kuat berhak menentukan nasib yang lemah? Indonesia, sebagai bangsa yang sejak awal menempatkan Palestina sebagai bagian dari prinsip moralnya, menghadapi ujian besar. Di satu sisi, ada kepentingan diplomatik yang harus dijaga; di sisi lain, ada prinsip yang telah lama menjadi bagian dari identitas nasional kita: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Kita tidak sedang berbicara tentang sekadar kebijakan luar negeri atau strategi geopolitik. Kita sedang berbicara tentang integritas, tentang apakah dunia ini masih memiliki ruang untuk keadilan, atau apakah ia telah sepenuhnya menyerah kepada realitas yang didefinisikan oleh kekuasaan semata. Jean-Jacques Rousseau pernah menulis bahwa “manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia dalam belenggu.” Jika Gaza benar-benar jatuh ke tangan mereka yang ingin mencaploknya, maka itu bukan hanya tragedi bagi Palestina, tetapi bagi seluruh dunia yang mengaku membela keadilan.
Tetapi sejarah selalu memiliki cara untuk menyeimbangkan dirinya. Mereka yang terlalu percaya pada kekuatan mereka sendiri selalu menemui batasnya. Kekaisaran Romawi runtuh, kolonialisme Eropa ditendang keluar oleh bangsa-bangsa yang mereka anggap lemah, apartheid di Afrika Selatan jatuh bukan karena kekuatan senjata, tetapi karena kebenaran memiliki daya tahan yang lebih besar daripada peluru. Trump mungkin percaya bahwa ia bisa menguasai Gaza, tetapi Gaza bukan sekadar tempat—ia adalah ide, dan ide tidak bisa dibunuh.
Ketika semua ini berakhir, ketika Trump dan para pengikutnya telah pergi, ketika dunia telah melanjutkan perjalanannya, Gaza akan tetap berdiri. Bukan karena kebetulan, bukan karena belas kasihan, tetapi karena mereka yang hidup di sana percaya bahwa mereka memiliki hak untuk ada. Sejarah adalah saksi bahwa tidak ada kekuasaan yang benar-benar abadi, tetapi ada hal-hal yang tak pernah bisa dihancurkan: kehendak untuk hidup, kebebasan yang diperjuangkan, dan suara yang menolak untuk dibungkam.
Trump bisa menggambar ulang peta, bisa mengeluarkan perintah, bisa menggunakan segala cara untuk mengukuhkan kehendaknya. Tetapi Gaza akan tetap menjadi batu yang menantang gelombang, tetap menjadi nyala yang bertahan di dalam gelap. Sebab tanah yang dicintai oleh orang-orangnya tidak pernah benar-benar bisa dimiliki oleh siapa pun. Sebab sejarah, seperti kebenaran, selalu berpihak pada mereka yang tak pernah menyerah.