Empat Tahun Listyo Sigit Jadi Kapolri Dianggap Gagal Memimpin Polri Sebagai Pelindung dan Pengayom Masyarakat

Oleh Upa Labuhari SH MH
Wartawan anggota PWI Jaya dan praktisi hukum di Jakarta
KoranRakyat.co.id —Bila tak ada aral melintang, Selasa 21 Januari besok, genap empat tahun Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo memimpin Polri yang beranggotakan kurang lebih 450 ribu orang. Dalam sejarah Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, tercatat sebagai lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991 dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian .
Ia ditunjuk sebagai Kapolri atas Keputusan Presiden Jokowi dan disetujui oleh dewan perwakilan rakyat setelah mengikuti uji kelayakan di depan Komisi III. Ia menggantikan Jenderal Polisi Drs Idham Azis sebagai Kapolri yang memasuki usia pensiun pada tanggal 1 Pebruari 2021 lalu .
Menjadi pertanyaan,Apa capaian Listyo Sigit memimpin Polri selama empat tahun?. Adakah ia bisa diperhitungkan memiliki prestasi luar biasa selama memimpin Polri seperti ketika ia mendapat pujian “setinggi langit” dari anggota DPR Komisi III periode 2019-2024.
Atau sebaliknya dianggap sebagai Kapolri yang gagal membawa Polri sebagai pelayan dan pengayom masyarakat dengan konsep Presisi , ‘’Prediktif, Responsibilitas dan transparansi,. Berkeadilan’’,
Konsep Presisi yang dicanangkan oleh Listyo Sigit Prabowo dalam memimpin Polri ternyata jauh api dari panggang. Jauh dari harapan masyarakat. Apalagi setelah berlangsung peristiwa demi peristiwa yang sangat memalukan institusi Polri. Dimulai dengan terbongkarnya kasus suap Joko Tjandra yang melibatkan Irjen Bonaparte, seorang pejabat di Bareskrim Polri. Disusul kemudian dengan terbongkarnya kasus penembakan Brigadir Josua yang semula disebut sebagai korban tembak menembak di rumah kediaman Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.
Padahal fakta sebenarnya kasus ini adalah pembunuhan murni yang melibatkan langsung seorang perwira tinggi Polri yang dikenal berprestasi mengungkap kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung di jalan Panglima Polem Kebayoran Jakarta Selatan. Kasus ini benar benar sebagai tanparan besar bagi jajaran Polri .
Disebut demikian karena awalnya peristiwa ini direkayasa sedemikian rupa oleh sekian banyak penyidik Polri baik yang bertugas di Mabes Polri maupun di Polda Metro Jaya sebagai suatu peristiwa tembak menembak di rumah dinas Kadiv Propam. Tapi setelah Masyarakat dibantu keluarga korban Brigadir Josua menyatakan ketidak mungkinan peristiwa ini sebagai tembak menembak akhirnya penyidik Polri menyatakan betul peristiwa ini adalah suatu pembunuhan yang melibatkan Irjen Pol Drs Ferdy Sambo .
Peristiwa pembunuhan ini sangat memalukan bagi institusi Polrilukan karena baru kali ini institusi Polri memperlihatkan ketidak jujurannya kepada Masyarakat dalam mengusut suatu tindak pidana pembunuhan dengan mengatakan hal itu sebagai suatu peristiwa tembak menembak . Pada hal kenyataannya sebagai mana kesaksian pelaku di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah murni sebagai peristiwa pembunuhan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Belum selesai peristiwa ini menjadi perhatian Masyarakat, muncul kasus penyalahgunaan narkotika sitaan yang dilakukan Irjen Pol Drs Teddy Minahasa mantan Kapolda Sumbar . Walaupun kasus ini dibuka secara transparan kepada Masyarakat, tapi tidak membuat Masyarakat puas atas keterbukaan itu . Masyarakat bertambah prihatin atas perilaku oknum perwira tinggi Polri yang sepertinya bukan orang terpelajar sebagai lulusan Akademi dan Perguruan tinggi Kepolisan.
Diakhir tahun 2024 dikala program Presisi digalakkan pelaksanannya di Polda Metro Jaya muncul kasus pemerasan terhadap beberapa warga asing yang baru selesai menonton Djakarta Warehouse Proyek 2024. Pelaku pemerasan terhadap warga asing yang melibatkan puluhan anggota Polda Metro Jaya, bukan hanya berpangkat bintara dan perwira pertama . Tapi melibatkan seorang direktur reserse tingkat Polda dengan pangkat Komisaris besar Polisi. Sungguh amat memalukan peristiwa pemerasan ini karena beritanya viral di manca negara khususnya di negara warga yang diperas seperti Malaysia ,Singapura dan Indonesia .
Begitu memprihatinkan perbuatan oknum polisi ini yang hanya ditindak dengan memberhentikan mereka sebagai anggota Polri. Bukan seperti yang diharapkan oleh masyarakat banyak dengan menghendaki oknum Polisi yang memeras ini dibawa ke pengadilan perkaranya untuk disidangkan karena sudah mencoreng nama institusi aparat keamanan di Indonesia . Harapan ini ternyata belum mendapat respon dari pemimpin Polri dengan alasan yang tidak jelas.Tetapi walaupun demikian masyarakatpun tahu bahwa sesama aparat penyidik tidak boleh saling mendahului. Tidak boleh saling menindak sehingga masyarakat pun tahu bahwa harapan mereka tidak akan terwujud.
Menjadi pertanyaan lebih jauh , apakah Kapolri berani membawa perkara pemerasan ini ke depan pengadilan?. Jawabannya pasti berani, Cuma kemauan untuk itu diperkirakan tidak ada sehingga kasus ini akan berdampak dikemudian hari bagi oknum penyidik yang berbuat tindak pidana bahwa mereka tidak akan menjadi pesakitan di Pengadilan jika mereka memeras Masyarakat awam. Jurisprudencenya sudah ada pada kasus pemerasan ini. Dan jurisprudence ini akan teringat sepanjang masa jika tidak dilakukan penindakan membawa pelaku pemerasan itu ke pengadilan.
Ini konsekwensi dari peristiwa pemerasan yang terjadi di Polda Metro Jaya jika perkaranya tidak dibawa kedepan pengadilan.Akibatnya Lembaga kepolisian yang dikenal sejak dulu sampai sekarang bekerja professional, dimungkinkan tidak akan mendapat kepercayaan lagi dari Masyarakat seperti di zaman Kapolri Hoegeng Imam Santoso atau Kapolri lainnya yang membawa oknum Polri pelaku tindak pidana ke meja hijau.
Sebelum peristiwa pemerasan ini terjadi di Jakarta , berlangsung peristiwa penembakan tiga seorang pelajar SMK Semarang oleh oknum Polri Poltabes Semarang. Seorang diantara mereka yang terkena tembakan meninggal dunia. Sedang pelaku penembakan masih dalam pemeriksaan Propam Polda Jateng untuk dibawa perkaranya ke depan siding Pengadilan. Peristiwa ini mengundang reaksi Masyarakat dengan mempertanyakan kewenangan seorang anggota Polri menembak pelajar yang disebutkan akan tauran sesame pelajar .” Kewenangan bagi penyidik untuk melepaskan tembakan kepada penjahat yang tidak patuh ada yang diatur dalam undang undang .Tapi harus sesuai dengan aturan yang berlaku, jangan asal nembak orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan” kata beberapa praktisi hukum dan Masyarakat awam mengomentari peristiwa yang menyedihkan ini .
Itulah sebabnya ketika terjadi penembakan terhadap Kasat Reserse Polres Solok Padang Sumatera Barat oleh Kepala Samapta Polres yang sama menyebabkan korban meninggal , pelaku langsung ditahan oleh petugas Propam Polda Sumbar. Masalahnya mengapa sebegitu ringan tangannya perwira Polres Solok Selatan menembak kawannya sendiri sehingga langsung meninggal di tempat. Masyarakat pun mempertanyakan bagaimana bisa sesame anggota Polri di Polres Solok Selatan Sumatera Barat bisa menembak mati sesamanya. Begitu dendamkah pelaku kepada korban yang punya tugas sebagai penyidik atas tambang liar di Solok Selatan. Jawaban itu belum muncul sampai sekarang sehingga membuat keprihatinan masyarakat terhadap Polri yang dipimpin Listyo Sigit Prabowo menjadi bertambah.
Dan keprihatinan ini bertambah banyak lagi Ketika muncul kasus salah memecat penyidik Polres Kupang yang diperbuat oleh Kapolda NTT. Anggota Polres Kupang yang dipecat itu adalah seorang yang diakui oleh Masyarakat setempat sebagai ‘’ pahlawan ‘’ dalam membrantas penyelundup bahan bakar minyak di Kupang. Kasus salah pecat ini yang sempat menggegerkan Masyarakat setelah komisi III DPR berpendapat Kapolda NTT telah salah menghukum anggotanya dan meminta agar Keputusan pemecatan itu dianulir.
Sepintas lalu perkara salah menghukum anggota ini dapat dianggap biasa karena Kapolda NTT adalah manusia biasa juga. Tapi dari segi kewibawaan Lembaga Polri sangatlah memalukan. Bagaimana bisa Kapolda yang punya banyak mata bawahan di mulai dari bidang reserse, intel, propam dan hukum dapat salah bertindak memecat anak buah yang lagi semangat melaksanakan amanat negara membrantas pengoplos BBM berubsidi bisa disebut dipecat.
Beruntung Kapolda NTT menganulir putusannya itu dengan tidak memecat anggotanya itu sehingga dapat mengurangi kesalahan yang dipertontonkan oleh petugas Lembaga yang dipimpin Listyo Sigit Prabowo.
Dari uraian yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Listyo Sigit Prabowo selama empat tahun memimpin Polri tidak berhasil membawa Lembaga ini sebagai pengayom , pelindung dan pelayan Masyarakat.
Untuk itu penulis menyarankan kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo agar kinerja Polri perlu diubah sedemikian rupa jika Pemerintahan Prabowo masih memberi memperpanjang masa pengabdian untuk memimpin jajaran Polri. Kedepan Kapolri jangan lagi mengurusi acara acara pelantikan pejabat yang dipercaya untuk memimpin di daerah. Tapi Kapolri seharus lebih banyak berada di daerah untuk menyerap aspirasi anggota di lapangan sehingga tidak terjadi aksi saling tembak menembak, memeras masyarakat, menembak pelajar yang tidak berdosa dan tidak ada pemimpin Polri di daerah salah memecat anggotanya .
Dan lebih penting Kapolri banyak mendengar suara masyarakat yang mendapat perlakuan tidak baik dan pantas dari petugas Polri di lapangan . Untuk itu penulis menyarankan untuk menggunakan data media yang banyak memuat keluhan masyarakat atas pelayanan anggota Polri baik ditingkat daerah maupun di Mabes Polri . Karena keluhan masyarakat yang dimuat di media massa lebih akurat dari laporan petugas yang menyebut namanya Reserse, intel, propam, irwasda dan kompolnas.Semoga mendapat perhatian.***