21 Januari 2025

Produk Hukum Baru Indonesia: Transfer of Prisoners

Oleh : Ahmad Usmarwi Kaffah, SH., LL. M., LL. M., PhD

Staf Khusus bidang Luar Negeri Menko Hukum, HAM dan Imipas Republik Indonesia

KoranRakyat.co.id —Transfer narapidana lintas negara telah menjadi elemen penting dalam kerja sama internasional, termasuk dalam hubungan antara Indonesia, Australia, dan Filipina baru-baru ini. Pemindahan narapidana memiliki potensi besar untuk mendukung rehabilitasi narapidana, mempererat hubungan diplomatik, dan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan (lapas). Kami kementerian koordinator hukum, ham, imigrasi dan pemasyarakatan melihat kebijakan ini sebagai kebijakan yang sangat strategis. Namun, kebijakan ini masih menghadapi tantangan mendasar, terutama belum adanya regulasi yang secara komprehensif mengatur mekanisme transfer narapidana di Indonesia.

Untuk sementara waktu, Presiden Prabowo Subianto menggunakan diskresi eksekutif untuk memfasilitasi transfer narapidana tertentu antara Indonesia, Australia, dan Filipina. Langkah ini menunjukkan respons cepat pemerintah terhadap kebutuhan operasional dan diplomasi, meskipun masih terbatas sebagai solusi sementara. Kebutuhan akan undang-undang yang lebih spesifik dan rinci tetap menjadi prioritas yang harus segera diwujudkan demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak semua pihak.

Landasan Hukum dan Diskresi Presiden

Sejauh ini, kerangka hukum terkait transfer narapidana di Indonesia diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, khususnya Pasal 45 ayat (1). Pasal ini memungkinkan pelaksanaan transfer narapidana ke luar negeri atau penerimaan narapidana asing. Namun, Pasal 45 ayat (2) secara eksplisit mengamanatkan pembentukan undang-undang baru untuk mengatur detail mekanisme, prosedur, dan persyaratan transfer tersebut.

Salah satu kasus Transfer narapidana lintas negara telah menjadi elemen penting dalam kerja sama internasional, termasuk dalam hubungan antara Indonesia, Australia, dan Filipina baru-baru ini./handout

Dalam hubungan dengan Australia dan Filipina, diskresi Presiden Prabowo digunakan untuk menjembatani kekosongan regulasi, terutama untuk kasus-kasus yang mendesak. Diskresi ini didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan, keadilan, dan diplomasi. Misalnya, transfer narapidana tertentu dari atau ke negara-negara tersebut bertujuan untuk memfasilitasi rehabilitasi narapidana dalam lingkungan yang lebih mendukung. Meskipun langkah ini layak diapresiasi, diskresi presiden tidak dapat menjadi solusi permanen. Penyusunan undang-undang baru yang komprehensif tetap diperlukan untuk memberikan kepastian hukum jangka panjang.

Capaian Positif Transfer Narapidana

Kerja sama transfer narapidana antara Indonesia, Australia, dan Filipina telah menunjukkan sejumlah capaian positif, meskipun dilaksanakan dengan kerangka hukum yang terbatas.

  1. Efektivitas Rehabilitasi Narapidana:

Pemindahan narapidana ke negara asal memungkinkan mereka menjalani hukuman dalam lingkungan yang lebih mendukung secara budaya, bahasa, dan sosial. Hal ini meningkatkan peluang reintegrasi sosial mereka setelah masa hukuman selesai, sehingga mereka dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif.

  1. Pengurangan Beban Overkapasitas Lapas:

Sistem pemasyarakatan Indonesia menghadapi masalah serius berupa overkapasitas. Dengan memindahkan narapidana asing ke negara asal mereka, pemerintah dapat mengurangi tekanan pada lapas domestik, sekaligus mengalokasikan sumber daya untuk pembinaan warga binaan Indonesia.

  1. Penguatan Diplomasi Hukum:

Transfer narapidana telah menjadi alat diplomasi yang efektif, terutama untuk memperkuat hubungan bilateral. Kebijakan ini menunjukkan komitmen Indonesia terhadap prinsip keadilan dan kemanusiaan, serta kemampuan untuk menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan.

 

Tantangan yang Dihadapi

Di balik capaian tersebut, kebijakan transfer narapidana masih menghadapi sejumlah tantangan besar yang harus segera diatasi:

  1. Ketiadaan Regulasi Khusus:

Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur transfer narapidana. Akibatnya, kebijakan ini bergantung pada diskresi presiden atau kesepakatan bilateral yang sering kali tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

  1. Harmonisasi Hukum Antarnegara:

Perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan negara-negara mitra, seperti Australia dan Filipina, menjadi kendala besar. Misalnya, Australia memiliki persyaratan ketat dalam transfer narapidana, yang sering kali tidak sejalan dengan prosedur di Indonesia.

  1. Tantangan Logistik dan Administrasi:

Proses transfer narapidana membutuhkan koordinasi yang kompleks antara berbagai pihak, seperti Kemenko Hukum, HAM, imipas beserta kementerian dibawah kordinasinya, dan juga Kementerian Luar Negeri, dan otoritas negara mitra. Tanpa manajemen yang efisien, proses ini bisa memakan waktu lama dan biaya besar.

  1. Perlindungan Hak Narapidana:

Kurangnya informasi tentang prosedur transfer dan lamanya waktu tunggu sering kali menjadi keluhan narapidana. Hal ini menunjukkan perlunya transparansi dan perlindungan hak yang lebih baik dalam implementasi kebijakan ini.

Kriteria Ideal untuk Undang-Undang Baru

Penyusunan undang-undang baru tentang transfer narapidana merupakan langkah mendesak yang harus segera dilakukan. Berikut adalah kriteria ideal yang sebaiknya dimuat dalam regulasi tersebut:

  1. Transparansi dan Akuntabilitas:

Regulasi harus memastikan bahwa proses transfer narapidana berjalan secara transparan dan akuntabel, baik bagi narapidana, keluarga mereka, maupun publik. Narapidana harus diberikan akses terhadap informasi yang jelas terkait prosedur transfer.

  1. Harmonisasi dengan Hukum Internasional:

Undang-undang ini harus sejalan dengan standar internasional, seperti Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, untuk memudahkan kerja sama dengan negara-negara mitra.

  1. Perlindungan Hak Narapidana:

Transfer narapidana harus dilakukan dengan persetujuan narapidana yang bersangkutan, kecuali dalam situasi tertentu yang diatur oleh hukum. Regulasi juga harus menjamin akses terhadap bantuan hukum dan perlakuan yang manusiawi selama proses transfer.

  1. Mekanisme Prosedural yang Rinci:

Regulasi harus memuat kriteria narapidana yang layak ditransfer, proses pengajuan, mekanisme persetujuan, dan tanggung jawab masing-masing pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional.

  1. Efisiensi Logistik dan Administrasi:

Undang-undang harus mengatur pengelolaan logistik dan pendanaan transfer secara efisien, termasuk mekanisme transportasi yang aman dan manusiawi.

  1. Penyelesaian Sengketa:

Regulasi harus mencakup prosedur mediasi dan arbitrase untuk menyelesaikan potensi sengketa antara negara pengirim dan negara penerima terkait transfer narapidana.

  1. Pengawasan dan Evaluasi Berkala:

Pembentukan badan pengawas yang bertugas memantau dan mengevaluasi implementasi transfer narapidana secara berkala menjadi elemen penting dalam undang-undang baru.

 

Rekomendasi Strategis ke Depan

Selain menyusun regulasi baru, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk memperkuat implementasi kebijakan transfer narapidana:

  1. Mempercepat Pembentukan Undang-Undang Baru:

Penyusunan undang-undang ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian terkait, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk memastikan regulasi yang dihasilkan komprehensif dan inklusif.

  1. Memperkuat Kerja Sama Bilateral:

Sambil menunggu pengesahan regulasi, Indonesia dapat memperkuat kerja sama bilateral melalui penyusunan memorandum of understanding (MoU) yang lebih rinci dan spesifik.

  1. Meningkatkan Edukasi dan Transparansi:

Pemerintah perlu memastikan bahwa narapidana mendapatkan informasi yang jelas tentang hak dan kewajiban mereka selama proses transfer, termasuk prosedur dan waktu yang dibutuhkan.

Kesimpulan

Transfer narapidana antara Indonesia, Australia, dan Filipina merupakan langkah strategis yang menunjukkan potensi besar dalam mendukung rehabilitasi narapidana dan memperkuat hubungan diplomasi internasional. Namun, keberhasilan kebijakan ini masih bergantung pada diskresi Presiden Prabowo Subianto dan belum didukung oleh regulasi yang memadai.

Pembentukan undang-undang baru tentang transfer narapidana merupakan kebutuhan mendesak untuk memberikan kepastian hukum, melindungi hak-hak narapidana, dan memperkuat kerja sama internasional. Dengan regulasi yang jelas dan terstruktur, transfer narapidana dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dalam menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan hubungan diplomatik yang lebih erat. (*)