15 Januari 2025

Lindungi Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional, Nelayan Natuna Butuh Hukum Adat Laut ?

KR Natuna- Konflik antar  nelayan akibat penyerobotan zona tangkap semakin marak terjadi di Kabuaten Natuna Provinsi  Kepulauan Riau. Jika sebelumnya yang membuat resah adalah aktivitas kapal ikan asing (KIA) asal negara Vietnam, Thailand, China dan Malaysia, kini pertikaian justru lebih sering terjadi antarsesama nelayan Indonesia. Dibutuhkan ketegasan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi hal itu.

demo Konflik WilayahTangkap nelayan kec Bungua Barat kab. Natuna dengan nelayan luar daerah

Nelayan kecamatan Bunguran Barat tetap menyandera KM Lucas Cendana Jaya GT yang saat ini dilabuhkan di jalan Sayonara-pelabuhan Roro Sedanau kecamtan Bunguran Barat meski putusan atas pelanggaran KM Lucas Cendana Jaya GT berwenang membayar denda sebesar Rp 118.215.600 ,-( Seratus Delapan Belas Juta Dua Ratus Lima Belas Riu Enam Ratus Ruiah) yna harus disetorkan ke kas Negara.

 

Direktur Natuna Intitue Hermawan kepada media ini menjelaskan bahwa potensi Konfilk WilayahTangkap seperti yang dialami Nelayan Bunguran Barat akan terus terjadi dan akan selalu sama bukan saja di kecamatan Bunguran Barat tetai bisa terjadi di kecamatan lainnya ,

 

“Konflik ini bukan saja konflik antar nelayan luar daerah dengan nelayan Natuna, bahkan konflik antar nelayan Natuna yang beda pulaupun sering terjadi,  Untuk meminmalisir konflik wilayah tangkap lokal sejumlah Peraturan desa sudah dibuat, sayangnya Peraturam Desa (PERDES)  ini hanya mengatur wilayah (1) satu desa, sementara nelayan desa-desa lainya belum tentu paham dan terinformasi /teredukasi , ditambah berbedanya aturan dalam setiap Perdesa ynag menetapkaperdes wilayah laut.” Jelas Hermawan menjawan konfirmas media ini, Minggu (22/12)

 

Lebih jauh Hermawan merekomendasikan Sudah saatnya Nelayan Natuna kompak untuk melindungi wilayah tangkap tradisionalnya, mungkin sudah saatnya perlu dipikirkan apakah Natuna butuh HUKUM ADTA LAUT, sehingga nelayan Natuna punya dasar/legalitas hukum  untuk melindungi wilayah tangkap tradisionalnya  ?

 

Nelayan Natuna Butuh Hukum Adat laut ?

 

Permen KP NOMOR 8/PERMEN-KP/2018

Keberadaan hukum adat diakui di Indonesia, tidak hanya pada masyarakat pedesaan atau perkotaan, hukum adat juga masih diterapkan pada masyarakat pesisir. Dalam masyarakat masih ditemukan adanya hukum adat laut yang menjadi komponen penting dalam pengelolaan perikanan. Keberadaan hukum adat laut pada dasarnya merupakan kemajemukan normatif yang secara nyata hidup, dianut, dan masih dioperasikan masyarakat. Masyarakat hukum adat laut adalah salah satu komunitas dan budaya berbasis masyarakat yang paling riil sebagai komunitas penting dalam kerangka pembangunan berkelanjutan wilayah perikanan.

Berikut bentuk-bentuk hukum laut yang ada di berbagai daerah di Indonesia: Panglima laot Salah satu hukum adat laut yang dianut oleh masyarakat Aceh adalah Panglima Laot, di mana hukum adat ini juga sudah diakui oleh pemerintah. Panglima laot adalah orang yang memimpin adat, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan dan menyelesaikan sengketa.

 

Berbagai huku adat laut bisa dibaca ditautan erikut

https://www.kompas.com/skola/read/2023/11/19/090000569/mengenal-hukum-adat-laut-dalam-menjaga-ekosistem-laut

Pemerintah Mengakui Hukum Adat Laut Melaui Proses diatur Dalam Permem KP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8/PERMEN-KP/2018 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH KELOLA MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PEMANFAATAN RUANG DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

 

Dalam Permen ini menjelaskan

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Wilayah Masyarakat Hukum Adat selanjutnya disebut Wilayah Kelola adalah ruang perairan yang sumber daya lautnya dimanfaatkan oleh Masyarakat Hukum Adat dan menjadi wilayah pertuanan Masyarakat Hukum Adat.
  3. Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  5. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang melaksanakan tugas teknis di bidang pengelolaan ruang laut.

Dalam pasal Pasal menjelaskan 2 Tujuan Peraturan Menteri ini sebagai acuan dalam penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), dan Rencana Zonasi (RZ) antarwilayah.

Pasal 3 Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini meliputi:

  1. pengusulan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat; dan
  2. proses penetapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat. BAB II PENGUSULAN WILAYAH KELOLA MASYARAKAT HUKUM ADAT d

adalam pasal 4 menjelaskan

(1) Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan Perairan Pulau-Pulau Kecil pada Wilayah Kelola oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.

(2) Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan Perairan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuan dan perlindungannya oleh bupati/wali kota.

Dalam pasal Pasal 5  menjelaskan

  • Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan pengakuan dan perlindungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat mengusulkan Wilayah Kelolanya melalui bupati/wali kota ke dalam:
  1. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) kepada Gubernur; dan b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), dan Rencana Zonasi (RZ) antarwilayah, kepada Menteri.

(2) Terhadap Usulan Wilayah Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan identifikasi dan pemetaan oleh gubernur dan Menteri sesuai kewenangannya.

(3) Hasil identifikasi dan pemetaan yang dilaksanakan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan ke dalam RZWP-3-K.

(4) Hasil identifikasi dan pemetaan yang dilaksanakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam RZ KSN, RZ KSNT, dan RZ antarwilayah.

Apakah nelayan Natuna bisa Bersatu dan mengusulkan Hukum daat Laut untuk melindungi wilayah tangkap ?

Ini perlu segera di gesa agar konflik wlayah tangkap segra bisa diminimalisir.

 

*Dari berbagai sumber (red)