Rugikan Negara Rp 300 T, Eks Dirut & Dirkeu PT Timah Didakwa dalam Skandal Timah
Jakarta,KoranRakyat.co.id — Merugikan keuangan negara senilai Rp 300 triliun, Direktur Utama PT. Timah Tbk. periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani didakwa terlibat di skandal korupsi timah.
Seperti dilansir kumparanNEWS Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang merugikan keuangan negara senilai Rp 300 triliun.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Ardito Muwardi, mengungkapkan kegiatan penambangan ilegal dimaksud dilakukan oleh lima smelter swasta, yakni: PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.
“Perbuatan terdakwa Mochtar mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah, berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan,” ujar jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (26/8), dikutip dari Antara.
JPU menuturkan, Mochtar mengakomodasi kegiatan penambangan ilegal bersama-sama dengan Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020 Emil Ermindra serta Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar.
Atas perbuatannya, Mochtar didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Emil Erminda juga didakwa pada hari yang sama dengan Mochtar. Ia didakwa dengan pasal yang sama dengan Mochtar dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah pada tahun 2015-2022.
Jaksa menjelaskan pada awalnya Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Alwin melaksanakan kerja sama antara PT Timah dengan sejumlah mitra jasa penambangan (pemilik izin usaha jasa pertambangan/IUJP) yang diketahui melakukan penambangan ilegal dan/atau menampung hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Mereka merealisasikan pembayaran dari PT Timah kepada mitra jasa penambangan (pemilik IUJP) seolah-olah sebagai imbal biaya usaha jasa penambangan, yang didasarkan pada jumlah bijih timah yang dihasilkan penambang ilegal sesuai harga pasar pada saat transaksi.
Kemudian, mereka membuat dan melaksanakan program pengamanan aset cadangan bijih timah di wilayah IUP PT Timah. Dalam pelaksanaannya, PT Timah membeli bijih timah dari para penambang ilegal yang melakukan penambangan di wilayahnya sendiri.
Setelah itu, Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Tetian Wahyudi mengatur pembelian biji timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah menggunakan CV Salsabila Utama, yang merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Emil bersama-sama dengan Mochtar dan Tetian untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
JPU melanjutkan, Mochtar bersama-sama Alwin pun melakukan pembayaran bijih timah sebanyak 5 persen dari kuota ekspor bijih timah kepada perusahaan smelter swasta yang diketahui telah melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah dan pencatatannya direkayasa seolah-olah merupakan hasil produksi dari Program Sisa Hasil Pengolahan (SHP) PT Timah.
Lalu, Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Alwin melakukan sejumlah pertemuan dengan pemilik lima smelter swasta untuk mengadakan kerja sama sewa peralatan processing (pengolahan) penglogaman timah yang bertujuan mengakomodir kepentingan beberapa pemilik smelter swasta.
“Para pemilik smelter swasta dimaksud tidak memiliki competent person (CP) sehingga tidak dapat diterbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB)-nya, tetapi memiliki banyak stok bijih timah yang bersumber dari penambangan ilegal dari wilayah IUP PT Timah,” ucap Jaksa.
JPU menyebutkan Mochtar selanjutnya bersama-sama dengan Emil, Alwin, dan Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT menyepakati harga sewa peralatan pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 4 ribu dolar Amerika Serikat (AS) per ton untuk PT RBT dan 3.700 dolar AS per ton untuk empat smelter lainnya tanpa kajian atau feasibility study (studi kelayakan) dengan kajian dibuat tanggal mundur.
Hal tersebut merugikan negara hingga Rp 300 triliun dan menguntungkan sejumlah pihak. Perusahaan CV Salsabila Utama yang dikuasai para terdakwa ini pula mendapatkan keuntungan yang fantastis mencapai Rp 986.799.408.690. (*/Sar)