4 Desember 2024

Belum Pernah Saya Melihat Ibu Mega Semurka Itu

Catatan Ilham Bintang

Belum pernah saya melihat Megawati semurka itu. Kasihan. Padahal, di usia lanjut, 75 tahun ( lahir 23 Januari 1947) harusnya Mbak Mega hidup tenang. Tinggal duduk manis menikmati buah perjuangannya membesarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P). Tinggal memperbanyak ibadah sebagai sikap sebaik-baiknya mensyukuri nikmat.

Mega sudah mengantar partainya dua kali menang Pemilu, dan berhasil mengantarkan kadernya menjadi Presiden RI dua periode (Jokowi). Lembaga -lembaga survey tetap menempatkan PDI-P pada posisi tertinggi. Tak sedikit pun goyah walau beberapa kadernya, bahkan setingkat menteri, menjadi tahanan KPK.

Hasil survey Litbang Kompas teranyar yang baru kemarin diumumkan, bukan hanya masih di puncak, tetapi PDIP mengalami kenaikan prosentase jauh meninggalkan parpol kompetitornya di bawah.

Kurang apa lagi? Gelar Doktor dan Professor kehormatan pun sudah diraih.

Bak Ratu Inggris

Coba lihat video pendek yang ( dengan sengaja diedarkan ) merekam pertemuannya dengan Presiden Jokowi, Selasa (21/6) pas ayahanda Kaesang dan Gibran itu berulangtahun ke 61. Video itu kini viral. Semakin menyempurnakan berkah kenikmatan yang diperoleh Ibu Megawati di usia tigaperempat abad.

Mega menerima Jokowi di meja kerjanya dalam posisi presiden menghadap di depannya. Tidak beda dengan posisi Ratu Inggris ketika menerima perdana menterinya menghadap, seperti biasa kita lihat di film – film.

Lihat juga Puan Maharani. Kita bisa komen, enak benar hidup Puan ini. Dia tampak leluasa membuat video selfie yang merekam pertemuan ibunya dengan Presiden Jokowi tanpa pengawalan Paspampres. Puan sangat istimewa dalam peristiwa istimewa itu. Puan seperti cucu kita yang tetiba datang bermain mobil-mobilan remote control di ruangan saat kita berbincang serius dengan tamu. Siapa kira- kira yang berani menegur cucu seperti itu? “Nikmat apa lagi yang mau kau dustakan” begitu peringatan Allah dalam salah satu suratnya, Ar Rakhman.

Ekspresi Marah

Dengan setting pertemuan yang divideokan itu, wajar kita terkejut menyaksikan Megawati sesudahnya, di hari yang sama, saat berpidato di dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P. Mbak Mega seperti banteng terluka mengancam menyeruduk siapa saja yang dinilai mengganggu dan merintanginya.

Dalam potongan pidatonya yang beredar luas, Megawati menyinggung banyak hal. Mulai dari meminta kader tidak mencoba bermanuver hingga masalah kewenangannya menentukan capres PDI-P. Video itu fokus mengambarkan kemurkaannya. Tak jelas siapa yang mengedarkan video yang berpotensi jadi bumerang itu.
“Kalian siapa saja yang berbuat manuver-manuver, keluar! Daripada saya pecati. Tidak ada di dalam PDI Perjuangan yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver,” kata Megawati lantang. Dia tidak menyebut nama tapi rasanya semua orang tahu siapa yang dituju.,

“Kalau ada kader yang masih ngomong koalisi, Out!,” sambungnya dalam tone sama lantangnya.

Kontras dengan kenyamanan yang ditampakkan Mbak Mega ketika menerima Jokowi. Di ruangan itu, ia dikelilingi elit lingkar dalam Teuku Umar, antaranya Pramono Anung, Prananda dan Puan (lagi Selfie), Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan (KaBIN).

Menyindir wartawan

Saya baru pertama kali melihat Ibu Mega semurka itu di depan publik. Yang sering saya saksikan, sebatas hanya sindiran ke pelbagai pihak. Tidak terkecuali kepada wartawan atau pers.

Dulu, Mega pernah menyindir wartawan seakan bukan orang Indonesia. Yang terbaru, belum sepekan berlalu, ia menyindir kerja wartawan seakan tak mematuhi kode etik jurnalistik. Saat seorang kawan mau menanggapi, saya larang. Alasannya, kita yang salah kalau berdebat dengan pihak yang tidak mengetahui persis prinsip kerja wartawan.

Puluhan tahun lalu, saya pernah ngobrol dengan Sukmawati di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Megawati yang sebenarnya pendiam.

“Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau memimpin partai,” kata Sukma.

Waktu itu Megawati memang belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Belum lama terjun ke dunia politik.

Calon trah Soekarno

Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin saya ulang-ulang putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak.

Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal. Pilpres 2024 memang merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari Trah Soekarno.

Benar, PDI-P telah berhasil mengantarkan kader PDI-P yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P maui. Jokowi bukan pendiri dan Trah Soekarno. Mbak Mega sudah merasakan kesulitan “mengendalikan” kader yang bukan Trah Soekarno yang menjadi Presiden RI.

Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi dia kerap berbuat “seperti anak nakal” tidak menurut Ibu Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Dan, banyak persoalan lagi.
Sejak reformasi, memang baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI.

Persoalan internal

DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. ” Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga kan relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam,” papar Asep.

Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani “Semeion”, yang berarti tanda. Ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18).

Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata, tapi tidak bisa dengan ekspresi wajah. Pasalnya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin anda kontrol sebelumnya.Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda bila diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula.

Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam.

Sayang sekali. Mbak Mega mungkin lebih tepat “mereplay” kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo bisa menjadi bumerang baginya dan PDI-P: justru mengantarkan Ganjar ke Istana dan mendudukkannya di kursi Presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.

Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu “banyak muka” dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang tak mendapat keadilan. (*)