27 Maret 2025

Keluhan Nasib Nelayan Natuna Ditengah Kerugian Mencapai Rp 30 triliun / Tahun Akibat Ilegal Fishing!

0

Populinews, Natuna-  Nelayan tradisional  Natuna dan Laut Natuna Utara kembali menjadi  perhatian paska hebohnya kabar maraknya Kapal Ikan Asing (KIA) dan kapal perang negara tetangga yang berseliweran menakuti nelayan tradisional, kejadian ini selalu berulang, meski beberapa tahun kebelakang sempat surut dan damai.

Kepada mantan menteri kelautan Susi Pudjiastuti yang sedang berkunjung ke Natuna sejunmlah perwakilan dan kelompok nelayan kembali mengadukan nasibnya yang kembali terpuruk belakangan ini,

” Nelayan Natuna itu biasa mancing dengan alat tangkap pompong atau perahu diabwah 3 GT, wilayah tangkapnya bisa hingga ke wilayah ZEE, sekali melaut berangkat satu atau 2 hari hasilnya bisa 1 atau 2 viber ( kapasitas 100 atau 200 liter-red) jadi kami nelayan Natuan sudah terbiasa melaut dengan jarak diatas 30 sampai 40 mill, ” jelas Hendry sel;aku ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANNA) mewakili keluh kesah anggotanya didepan Susi Pudiastuti yang pelabuhan nelayan  Sepempang , Rabo , (22/09)pagi,

Menurut Hendry dan rekan-rekannya nelayan Natuna sempat kembali menikmati memlipahnya hasil tangkapan ikan di laut Natuna Utara sepanjang tahun diera Bu Susi Pudjiastiuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI,

” Dulu kami pesimis, nelayan Natuna sangat sengsara, tetapi semenjak bu Susi menjabat Menteri Kelautan, ikan kembali melimpah, tak hanya ditengah dipinggirpun melimpah, kelong dan jaring tancapun bisa menghasilkan ikan, belanak yang seukuran paha yang dulu sempat menghilang diera bu Susi bisa ditangkap dipinggir, begitu juga saat musim utara, nelayan Natuna yang tak bisa melaut ketengah laut bisa menangkap gurita di pinggir pantai dibawah 4 mill, hasilnya sehari bisa 4 ton, malah kita bisa ekspor lho,  tetapi kondisi ini kemabali berubah di detik detik terkahir Bu Susi menjabat menjadi menteri hingga akhirnya diganti,,, hasil tankap nelayan Natuna emakin parah dan berkurang ,” jelas Hendry yang diamini nelayan tradisional yang hadir di situ.

Pernyataan Hendry ini dikuatkan dengan apa yang di sampaikan Joko (38th)  nelayan asal Sedanau kecanmatan Bunguran Barat

“Saya nelayan asli sejak 2006, saya punya pengalaman melaut hingga perbatasan, saat Bu Susi jadi Menteri selama 5 tahun awal saja , saya merasakan hasil tangkapan sangat naik. tetapi sejak diakhir Bu Menteri mulailah kami bertemu kembali dengan  Kapal Vietnam , apalagi saat Piplres luar biasa banyaknya  KIA yang masuk di laut Natuna Utara,  Sejak itu hasil tangkap merosot tajam ” jelas  Joko bersedih.

Pada kesempatan ini nelayan Natuna meminta Bu Susi  Pudjiastuti untuk menjembatani komunikasi ke pemerintah pusat agar suara mereka didengar,

” Kami sudah berjuang kemana-mana, tolong ibu bantu sampaikan ke pak presiden Jokowi,  bahwa di laut Natuna Utara itu tak cocok dengan alat tangkap cantrang maupun trowrl, nelayan Natuna biasa menangkap ikan dengan alat pancing yang ramah lingkungan, kami  menggunakan armada  kapal kayu dibawah 3 Gt paling besar  5 Gt, kami biasa bekerja hanya 2 orang paling banyak 5 orang, hasilnya dibagi sama rata, dengan modal patungan,  tidak ada yang namanya buruh nelayan di Natuna, tidak sama dengan daerah lain,” jelas Amir (43thn ) nelayan asal kecamatan Pulau Tiga.

Meskipun saat i ini menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trangono  menyatakan ada perubahan nama alat tangkap kapal dari Pantura tetapi sejumlah nelayan Natuan meyakini perubahan itu tidak signifikan, karena yang berubah hanya namanya saja, sedangkan alatnya tetap sama, yaitu jaring Cantrang atau jaring Trowl yang sudah dipastikan merusak ekosistim lingkungan laut Natuna Utara.

” Meski namnaya dirubah dari cantrang menjadi  jaring bekantong. Itu faktanya sama cantrang juga, karena kami melihat sendiri  realita dilapangan, Merubah alat itu biayanya besar dan belum tentu pengusaha nelayan cantrang mau ganti alat, itu cuma ganti nama saja, kalau menurut pak  menteri jaring berkantong kami melihat fisiknya tetap cantrang, atau satu lagi namanya diruban jaring tarik berkantong, kami melihat fifiknya tetap taring trowl,  Semua itu tidak ccok di laut Natuna Utara karena laut Natuna Utara perairan dangkal.” jelas Hendry meyakinkan.

Hendry dan nelayan Natuna  juga mengeluhkan jaring tarik cantrang maupun trowl  ynag beroperasi di laut natuna Utara melibas dan mengambil bubu yang dipasang nelayan Natuna,

“Semua disapu habis, Ikan dasar, hingga ikan permukaan disapu habis, ini sangat merusak lingkungan dan ekosisti apalagi akami emnemukan mereka melanggar wilayah tangkap , karena faktanya merekameroperasi dibawah 5 mill, ” jelas Hendry ketua ANNA

Nelayan Natuna itu bekerja berdasarkan  musim, setapi sepanjang tahun ada yang dikerjakan ada saat musim gurita, dimusim utara musim angin yang tak bersahabat, saat nelayan tak bisa melaut jauh, tapi ikan gurita minggir, nelayan memanfaatkan kesempatan ini, tetapi kondisi ini akan habis jika nelayan Vietnam dan nelayan cantrang beroperasi

” Semakin banyak KIA dan cantrang akan merusak ekosistim ini,  jika makanan ditengah habis maka gurita tak akan minggir, ababy gurita ditangkap ditenah, kaa merka tak akan bisa besar dan mkepinggir, begitu juga ikan kecil ynag lain,” jelas Eggy nelayan asal kecamatan  Pulau Tiga

Menurutnya Nelayan KIA itu menangkap baby gurita (anak gurta -red)  sedangkan nelayan Natuna berharap gurita itu bisa besar dan ditangkap di pinggir saat musimangin kencang  utara.

” Dulu  selama massa bu Susi, guriota sempat panen raya, kami tangkap perhari rata rata satu kelompok nelayan bisa menghasilkan 4 ton, bahkan hasilnya sempat diekspor ke Jepang1,” jelas Eggy

Penjelasan Eggy ini memang masuk akal pasalnya dalam  2 bulan saja seekor  baby gurita yang beratnya tak sampai 2 ons bisa besar menjadi 1 kg lebih

” Sewaktu Kapal Vietnam berkeliaran pendapatan kami dari ikan gurita nol, setelah bu Susi gencar menangkap KIA  nelayan Natuna merasa aman nyaman, karena kapal Thailand dan Vietnam tak ada  begitu juga cantrang kosong nelayan Natuna bisa panen ikan bahkan gurita, ” Jeas Amir  (44th) Nelayan asal kcamatan Pulau Tiga menambahkan

Nelayan Natuna juga bingung soal batas wilayah tangkap negara NKRI, pasalnya meskipun mereka melihat GPS merasa masih berada diwilayah NKRI,  tetapi tak jarang mereka mengalami intimidasi dari kapal negara tetangga,

“Kami nelayan Natuna juga bingung sebenarnya dimana baras wilayah NKRI di laut Natuan Utara, hak tangkap kita sejauh mana? Misalnya saya masuk di lintang 38 bujur 4.10 bujur 1.9 sesuai GPS saya merasa masih diwilayah NKRI, tetapi saya sudah dikejar kapal Marine Malaysia, kejadiannya 2 bulan kemaren, saya bisa ditangkap klau tak lari, teman saya pernah ditangkap semua hasil tangkap dan vibernya diambik.” jelas Joko menambahkan.

Dilema nelayan Natuna

Di wilayah ZEE kapal nelayan Natuna bersaing dengan KIA dan kapal perang negara asing,

“Nelayan nNatuna  dengan kekuatan kapal 3 GT hingga 5 GT berharap bisa mendapat hasil 400 kg hingga 500 kg mlaut hingga hingga ke wilayah  ZEE, tetapi lawan kamid isana Kapal ikan asing  yang dudukung atau dikawal  kapal perang mereka, bagimana kita mau bersaing mendapatkan hasil?, jelas Hendry.

Sementara kapal ikan nelayan Natuna  yang dibawah 3 Gt yang melaut diwilayah  4 hingga 30 mil  justru berebut dengan lengkong dan tawrl maupun cantrang

” Bagimana kamai nelayan kecil; yang nangkapikan dengan pancing bisa bersaing, dengan KAi d ZEE dan Kapal pantira di wilayah 4mill ? Kami mohon nelayan dibantu agar kondidisi ini bisa dicarokan solusinya.” tambah Joko

Joko juga berharap pemerintah bisa membantu jika nelayan Natuna mengalami kecelakaan laut, karena menurutnya selama ini  dinas perikanan di Natuna  tak bisa membantu dengan dengan alasan tak memiliki  kewenangan.

Potensi laut Natuna Utara 

Menurut data Natuna dalam Angka 2015 jumah Nelayan Natuna yang dikategorikan dalam rumah Tangga Perikanan (RTP) ada sebanyak  7066 dengan jumlah perahu tanpa motor sebanyak 1242, kapal motor 2755 kapal dengan moto temel sebanyak  95 unit, umlah ini menurun sempat di tahun 2016 dan kembali naik di era mentri kelautan sSusi Pudjiastyuti, sayangnya data dalam 5 tahun terakhir belum tercatat.

Wilayah Kabupaten Natuna mempunyai luas wilayah daratan dan lautan mencapai 264.198,37 Km2 dengan luas daratan 2.001,30 Km2 dan lautan 262.197,07Km2. Secaraadminitrasi pemerintahan Kabupaten Natuna terdiri dari 12 Kecamatan (Kecamatan Midai, Bunguran Barat, Bunguran Utara, Pulau Laut, Pulau Tiga, Bunguran Timur, Bunguran Timur Laut, BunguranTengah, Bunguran Selatan, Serasan, Subi dan Serasan Timur) . Jumlahpulau yang terdapat di Kabupaten Natuna sebanyak 154 pulau, dengan127 pulau diantaranya belum berpenghuni.

Kabupaten Natuna terletak di antara 1° 16’ – 7° 19’ Lintang Utara dan 105° 00’ – 110°00’ Bujur Timur

Dengann luas wilayah lautan yang mencapai diatas 99 persen ini kabupaten Natuna belum menikmati hasil PAD masksimal dari sektor kelautan dan perikanan.

Padahal menurut kajian Jejen Jenhar Hidayat2 1Pusat Riset Kelautan-BRSDM KP pada tahun 2016

Potensi hasil sumberdaya laut Natuna dengan luas lautan mencapai 99,24 persen dari total luas wilayahnya dimana sumberdaya ikan laut Natuna berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi WPP 711 sebesar 1.059.000 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80 persen dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton. Komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demers

Analisa kerugian Akibat Ilegal fishing di laut Natuna Utara per tahun bisa mencapai Rp 30 triliun

Pada makalah hasil penelitiannya di tahun 2015 Jejen Jenhar Hidayat2 1Pusat Riset Kelautan-BRSDM KP menjelaskan bahwa Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia.

Salah satunya kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001).

” Dengan asumsi tersebut, jika MSY (maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang dicuri dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/thn. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 triliun. Untuk melihat berapa kerugian ekonomi atau materil akibat aktivitas illegal fishing di wilayah ZEE-WPP 711, maka kita coba mengasumsikan jumlah kapal ikan ilegal dengan berdasarkan analisis data citra dan VMS periode Mei hingga Desember 2016 dimana didapatkan jumlah kerugian ekonomi seperti pada grafik dibawah ini. Gambar 5. Grafik Kerugian Ekonomi Per Periode (sumber: data citra Radarsat-2 dan VMS) 40.01 204.31 230.85 603.61 161.07 250.21 961.57 490.48 47.17 – 200.00 400.00 600.00 800.00 1,000.00 1,200.00 20160517 20160801 20160811 201 ” jelasnya

Nilai kerugian ekonomi yang didapatkan dari kapal ikan ilegal dengan kapasitas 53 GT (30 trip, harga 1$=13.000 IDR) didapatkan: Nilai Ekonomi = 10,53 ton * 30 * 26.000 = 8,21Milyar/kapal/tahun Jika jumlah total Gross Tonnage dari kapal ikan ilegal yang terdeteksi di wilayah ZEE-WPP 711 sebesar 19.162 ton dari jumlah total kapal ilegal sebanyak 280 unit, maka total nilai kerugian ekonomi mencapai Rp 2,989,296,154,794 (2,98 Trilliun).

Melihat masih maraknya aktivitas illegal fishing di wilayah ZEEI maka pemerintah perlu meningkatkan perhatian lebih akan kasus ini mengingat kejahatan illegal fishing di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah Indonesia.

Selain itu sumber perikanan di Indonesia masih merupakan sumber kekayaan yang memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk dapat dikembangkan bagi kemakmuran bangsa Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan protein rakyatnya, maupun untuk keperluan ekspor guna mendapatkan dana bagi usahausaha pembangunan bangsanya (Djalal, 1979).

Hal ini jelas menunjukan betapa pentingnya sumber kekayaan hayati dalam hal ini perikanan bagi Indonesia.

Berdasarkan dari hasil analisis citra radar yang menunjukkan sebaran kapal ikan asing dan dari hasil perhitungan kerugian yang didapatkan maka tidak ada pilihan lain jika pemerintah harus segera meningkatkan pengawasan operasional di ZEEI guna mencegah tindak pidana illegal fishing.

Masalah penegakan hukum di ZEEI juga berkaitan dengan KAMLA (Keamanan Laut) dalam kaitan dengan pelaksanaan ”constabulary function”.

Dalam lingkup nasional direpresentasikan sebagai keamanan nasional di laut yang utamanya menjadi tanggung jawab TNI AL dalam penanggulangannya. Upayaupaya yang ditempuh dalam rangka pengamanan perikanan ialah menerapkan prinsip-prinsip pengaturan sumber daya ikan dengan pendekatan yang mengandung langkah preventif dan kuratif yang dikenal sebagai sistem” Monitoring, Control and Surveillance” (MCS) (Suwarnatha, 2010)

Pengawasan yang lebih intens diwilayah ZEEI akan menekan aktivitas illegal fishing yang berkonsekuensi pada kerugian ekonomi karena kemampuan kapal asing yang bebas beroperasi hingga beberapa mil dari batas ZEEI dan mengeruk sumberdaya perikanan secara besar-besaran. Selain itu maraknya kapal ikan asing beroperasi di ZEEI karena secara geografis beberapa ZEEI seperti ZEEWPP 711 berada di laut lepas (high sea) dan langsung berhadapan dengan ZEE negara tetangga sehingga mempermudah kapal ikan asing berlalu lalang di sekitar wilayah tersebut.

Selain kerugian ekonomi, aktivitas nelayan asing yang melakukan Illegal Fishing ini menangkap ikan di laut Indonesia secara besar-besaran dan dengan cara yang dapat merusak habitat ikan di dalam laut seperti menangkap ikan menggunakan alat tangkap pair trawl yang sering dilakukan oleh kapal ikan asing Malaysia dan Vietnam yang secara perundang-undangan telah dilarang di Indonesia.

Menurut Susi Pudjiastuti (2015) bahwa praktek illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan IV 2018 Swiss-Belinn, Tunjungan-Surabaya 05 September 2018 270 Republik Indonesia (WPP NRI) sebagian besar dilakukan oleh kapal perikanan berbendera asing atau kapal eks asing berkapasitas di atas 30 GT. Jumlahnya mencapai 20 persen dari jumlah total kapal ikan di atas 30 GT yang beroperasi di WPP NRI atau sekitar 1.132 kapal eks asing, sehingga dari pendapat tersebut jika dibandingkan dengan hasil analisis pemantauan aktivitas illegal fishing khusus wilayah ZEE-WPP 711 saja sudah mencapai 280 unit sehingga sangat relevan bahwa illegal fishing masih marak di perairan Indonesia

Lebih jelasnya bisa di baca analisinya di tautan berikutnini (http://ilmukelautan.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Mahabror-dan-Hidayat.pd ) ** (Tim redaksi)

 

 

Tinggalkan Balasan