7 Oktober 2024

Puluhan WNI ‘Terjebak’ di Kamp Pengungsi Eks ISIS’ Suriah

0

SURIAH | Koranrkayat.co.id — Kementerian Luar Negeri memastikan akan memverikasi lebih dahulu pengakuan adanya WNI yang menyebut pernah bergabung dengan ISIS di Suriah yang menyatakan ingin pulang ke Indonesia.

Puluhan orang, di antaranya anak-anak dan kaum perempuan, yang mengaku warga Indonesia itu ditemukan berada di antara ribuan petempur asing ISIS, yang saat ini berada di kamp pengungsi di Al-Hol, Suriah timur.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir menyatakan, seperti saat proses pemulangan kembali atas 17 WNI dari Suriah pada 2017, verifikasi membutuhkan proses panjang dan memakan waktu lama, baik di Suriah maupun Indonesia.

“Apakah mereka benar-benar WNI. Setelah itu ada tahap selanjutnya, yaitu melihat situasi mereka, keadaan mereka, terkait psikologisnya, radikalisme mereka dan sebagainya, itu terus kita kawal, sampai nanti ada keputusan bagaimana kita bisa membantu mereka,” jelas Armanatha dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/03), seperti dilaporkan wartawan Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.

Kemenlu belum bisa memastikan kapan tahap-tahap tersebut bisa dilakukan, katanya.

Yang pasti, menurutnya, proses akan melibatkan pihak Imigrasi, kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT, hingga keluarganya di Indonesia.

“Akses ke mereka pun sulit, karena mereka bukan ada di Damaskus, kalau WNI yang ada di Damaskus lebih gampang untuk diakses,” kata Jubir Kemenlu, Armanatha.

Mengapa proses verifikasi sulit dilakukan? Lebih lanjut Armanatha menambahkan sebagian besar yang pergi ke Suriah tidak memiiki dokumen yang sah.

“Kita tidak bisa bilang bila mereka tidak punya dokumen yang sah, adalah warga dari negara tertentu,” lanjut Armanatha.

Karena itulah, Kemenlu akan berkoordinasi dengan berbagai pihak. “Ini merupakan hal yang terus dibahas oleh berbagai sektor,” imbuhnya.

Ada sejumlah faktor yang menurutnya menyulitkan pemerintah Indonesia untuk mengecek dan melakukan verifikasi karena kondisi Suriah yang hancur.

“Akses ke mereka pun sulit, karena mereka bukan ada di Damaskus, kalau WNI yang ada di Damaskus lebih gampang untuk diakses,” tambah Armanatha.

Pendataan jumlah WNI pun sulit dilakukan karena semua yang berangkat ke Suriah dan bergabung ke ISIS tidak melapor kepada pemerintah.

“Kalau saya ditanya berapa jumlah WNI di Suriah yang tidak melapor diri, ya tidak ada, karena memang kalau mereka tidak melapor diri mereka tidak punya datanya,” tegasnya.

Sementara itu Kepolisian Indonesia menyatakan pihaknya akan melakukan “pengawasan” bersama otoritas lainnya apabila dipastikan puluhan WNI itu sudah diverifikasi dan memenuhi syarat untuk bisa kembali ke Indonesia.

Juru Bicara Mabes Polri Dedi Prasetyo mengatakan, apabila mereka nantinya dipastikan dapat dipulangkan, pihaknya akan “memonitor ketat” seperti yang dilakukan terhadap belasan WNI eks ISIS yang sudah lebih dulu pulang.

Seperti diketahui, dua tahun lalu, Indonesia telah memulangkan 17 WNI yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah. Mereka saat ini dilaporkan masih berada dalam pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT, serta otoritas keamanan lainnya.

“Kepolisian memonitor dinamika pergerakan mereka, baik dari secara konvensional bagaimana mereka berhubungan dengan masyarakat maupun dalam menggunakan media sosial,” kata Dedi kepada wartawan Arin Swandari untuk BBC News Indonesia, Kamis (28/03).

Dedi mengklaim pengawasan dilakukan hingga sel terkecil mereka.

Sejauh ini pergerakan 17 WNI dan jejaring mereka yang dipantau tersebut, kata Dedi, tidak memperlihatkan indikasi mereka melakukan radikalisme kembali.

Peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict, Nava Nuraniyah mengatakan, jika nantinya dipulangkan ke Indonesia, puluhan WNI itu perlu didata ulang untuk memastikan sejauhmana keterlibatan mereka sebagai anggota ISIS.

Dalam pendataan itu, otoritas keamanan seharusnya dapat memilah tentang keterlibatannya selama di Suriah, apakah menjadi petempur atau sekedar ikut-ikutan.

Apalagi di antara puluhan warga WNI itu ada anak-anak dan kaum perempuan.

“Misal kalau harus dipenjara ya dipenjara, lalu (pemerintah) melakukan program deradikalisasi,” kata Nava kepada wartawan Muhammad Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (27/03).

Bagaimanapun, Nava termasuk yang mendukung apabila pemerintah Indonesia menempuh langkah untuk dapat memulangkan mereka.

“Terutama yang anak-anak daripada di sana, nanti tumbuh besar di daerah konflik mendingan pulang,” ujarnya.

Di kalangan masyarakat, timbul pro dan kontra tentang kebijakan pemerintah Indonesia yang telah memulangkan warga Indonesia yang bergabung ke ISIS di Suriah dan Irak.

Pihak yang kontra menganggap kebijakan pemulangan itu beresiko dari sisi keamanan, karena eks anggota ISIS itu dianggap berpeluang menyebarkan ideologi kekerasan setelah kembali ke Indonesia.

Tetapi, Nava Nuraniyah tidak sepakat apabila pemerintah menolak kepulangan mereka atau mencabut status kewarganegaraannya. “(Lagipula) hal itu tidak diatur dalam UU Terorisme,” ujarnya.

Langkah yang perlu dilakukan, sambungnya, adalah mendata dan memulangkan seluruh WNI di Suriah. “Itu pendekatan yang lebih humanis,” kata Nava.

Dia meyakini bahwa pemerintah Indonesia akan membawa mereka pulang.

“Dulu memang ada ide waktu RUU itu masih didiskusikan untuk mencabut kewarganegaraan. Tapi pada akhirnya tidak disetujui. Ada pembatasan untuk tidak memiliki paspor selama beberapa tahun. Tapi nggak ada pencabutan warga negara. Jadi itu nggak bisa,” jelas Nava.

Sebelumnya, BBC News Indonesia telah berbicara dengan seorang wartawan lepas, Afshin Ismaeli, yang mengaku bertemu sejumlah WNI di kamp pengungsi kamp pengungsi di Al-Hol, Suriah timur.

Salah-satunya, Maryam yang mengaku berasal dari Bandung dan menyatakan ingin pulang ke Indonesia.

“Saya dengan empat anak dan keluar dari Baghuz…kami ingin pulang ke negara asal kami, ke Indonesia,” kata Maryam dalam rekaman video yang dibuat Afshin.

Kota Baghuz adalah kantong terakhir kelompok ISIS, yang direbut oleh Pasukan Demokratis Suriah, SDF pimpinan suku Kurdi.

Afshin mengatakan kepada BBC Indonesia, “Kondisi di kamp itu sangat, sangat buruk dan memprihatinkan. Tidak cukup untuk menampung ribuan orang, tidak ada bantuan. Ada yang membagi makanan tapi tak cukup untuk semua.”

Warga Indonesia yang ditemui Afshin baru keluar dari Baghuz, namun ia mengatakan banyak pengungsi yang telah bertahun-tahun tinggal di kamp itu. (red)

Tinggalkan Balasan