16 Maret 2025

Program Makan Gratis dan Kisah Nabi Sulaiman  As

Prof.Dr. Abdurrahmansyah MAg

Guru Besar Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

KoranRakyat.co.id — Syahdan dalam sebuah riwayat Nabiyullah Sulaiman per­nah bermaksud menanggung makan seluruh makhluk yang berada di bawah keku­as­aannya. Kisah ini termaktub dalam kitab Durrotun Naashihiin Fii Al-Wa’izhin Wa Al-Irsyad karya Syekh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khow­bawiy. Nabi Sulaiman dikenal sebagai nabi yang dianugerahi kewibawaan, marwah, power, dan menguasai sumber daya yang terdiri dari personil manusia, jin, dan binatang, termasuk kekayaan alam melimpah.

Dengan power yang dimilikinya Nabi Sulaiman sanggup menanggung makan seluruh manusia di wilayah kekuasannya. Setiap hari dapur kerajaan Nabi Sulaiman memasak daging dari 4.000 ekor unta, 5.000 ekor sapi, dan 6.000 ekor kambing untuk dibagikan kepada rakyat dan anggota kerajaan. Pada suatu hari, setelah merasa sukses memberi makan seluruh rakyat dan anggota kerajaan, Sulaiman bermaksud meningkatkan scope kebijakan dengan memberi makan seluruh makhluk. Aksi Sulaiman ini didorong oleh sifat Nabi Sulaiman yang sangat pemurah. Nabi Sulaiman memohon kepada Allah SWT untuk mengizinkan mem­beri makan semua makhluk hidup di muka bumi. Ternyata Allah SWT menga­bul­kan do’a Nabi Sulaiman dan sembari Allah SWT menjawab: “Sungguh engkau (Nabi Sulaiman) tidak akan mampu”.

Berbekal fakta kebesaran kekuasaan yang dimiliki, Nabi Sulaiman mulai melak­sanakan programnya. Sebagai pelaksana program ini dikerahkan satuan tugas yang terdiri atas armada jin dan manusia. Untuk menghidangkan makanan saja Nabi Su­laiman membutuhkan tempat yang sangat luas di mana panjang dan lebar meja hi­dangannya setara dengan satu bulan perjalanan. Setelah semua hidangan siap, Allah SWT bertanya kepada Nabi Sulaiman, “Makhluk manakah yang akan memulai (memakan hidangan yang kamu sediakan)?” Nabi Sulaiman menjawab, “Mereka yang ada di darat dan di laut.” Kemudian dengan kekuasan-Nya, Allah meme­rin­tahkan satu makhluk besar dari golongan ikan untuk pertama kali menyantap makanan yang disajikan. Alangkah terkejutnya Nabi Sulaiman ketika melihat satu ikan besar melahap semua hidangan yang sudah disediakannya. Ikan itu kemudian ber­kata: “Hai Sulaiman, kenyangkanlah perutku, kini aku masih merasa lapar”. Seketika itu pula, Nabi Sulaiman tersungkur lunglai bersujud sambil menangis dan memohon ampunan Allah SWT karena telah menyelinap dihatinya perasaan sombong dan merasa mampu memberi makan semua makhluk hidup.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan pigur pemerintah dengan sosok Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam, karena memang tidak patut dibandingkan. Namun isu mengenai adanya kesamaan perasaan kasih, sayang dan bertanggungjawab seorang pemimpin terhadap kalangan yang dipimpinnya agaknya penting dikonteks­tua­lisasikan.

Program Makan Bergizi Gratis: Sebuah Keangkuhan?

Kisah “kesombongan” Nabi Sulaiman di atas sungguh menjadi pelajaran penting bagi kita semua betapa niat baik yang tulus sekalipun jika dilakukan dengan tanpa perhi­tungan yang matang dengan tidak mempertimbangkan kukuatan dan kele­mahan secara komprehensif akan berdampak buruk dan gagalnya sebuah program. Saat ini rakyat Indonesia sedang ditunjukkan oleh niat baik pemerintah untuk membantu masyarakat sebagai realisasi janji kampanye politik dalam bentuk program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak sekolah di seluruh Indonesia yang membutuhkan anggaran sangat besar mencapai triliyunan rupiah.

Data resmi pemerintah mensinyalir dibutuhkan anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai program makan gratis mencapai tahun 2025 mencapai 171 Triliun dengan jumlah siswa penerima manfaat sebesar 82,9 juta siswa. Jumlah ini mem­bengkak karena awalnya hanya berjumlah 71 triliun dengan jumlah 17 juta siswa. Program MBG ini cukup menelan banyak anggaran APBN sehingga membuat peme­rintah perlu memastikan ketersediaan anggaran yang cukup untuk me­re­alisasikan program ini. Untuk mencukupi anggaran dengan fokus pada program nasional—termasuk MBG—presiden perlu menginstruksikan seluruh kementerian agar memangkas anggarannya sampai puluhan triliun yang selanjutnya difokuskan untuk mendukung program MBG dan program prioritas lainnya.

Sebagian pakar berasumsi bahwa Instruksi Presiden No. 1 tahun 2025 tentang pemangkasan anggaran setiap kementerian untuk mencapai target pengumpulan dana sebesar 306,7 triliun tentu saja akan menimbulkan konsekwensi buruk. Dari perspektif politik anggaran, kebijakan memangkas anggaran setiap kementerian sama dengan tidak menghargai proses perencanaan internal anggaran yang dila­kukan kementerian. Selain itu, pasti akan mengganggu produktivitas dan agenda kerja. Fakta ini disinyalir sebagai lemahnya sistem koordinasi anggaran di pemerintahan. Secara lebih tajam malah ada pakar yang menuding fenomena ini sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang secara psikologis akan berpengaruh pada spirit kerja di setiap kementerian, sekaligus mengesankan adanya progam besar pemerintah yang justru kurang direncanakan dengan baik.

Dari sisi moral, program MBG harus dihargai sebagai bentuk kepedulian (caring) pemerintah terhadap “sangat buruknya” kondisi gizi anak-anak sekolah di Indonesia, sehingga perlu program serius seperti MBG. Sikap pemerintah yang bertanggungjawab dan peduli dengan kondisi pendidikan Indonesia yang selalu terpuruk menurut berbagai survey internasional memang layak dipuji. Memang sejatinya seorang pemimpin harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap kondisi rakyat. Figur pemimpin itu harus memiliki sifat ar-Rahman dan ar-Rahim, kata orang pesantren. Tetapi sifat dan motif baik harus diimbangi dengan perencanaan dan sistem manajerial serta kajian yang mendalam, terukur, dan based on data, sehingga sebuah program tidak terkesan grasa-grusu sehingga menimbulkan kepanikan anggaran dan kebisingan sosial di masyarakat.

Menurut beberapa ahli yang berkomentar di media sosial, sejauh ini progam MBG belum menyasar seluruh sekolah dan masih banyak anak-anak sekolah, madrasah, dan santri yang belum sama sekali merasakan program ini. Belum lagi berbagai problem pengiring yang muncul dari program ini seperti buruknya kualitas menu di beberapa sekolah. Ketidaksiapan tim pelaksana program sehingga menimbulkan keterlambatan dan tidak meratanya pembagian paket MBG ke peserta didik di seluruh Indonesia. Sangat kuat kesan bahwa program ini seperti salah sasaran. Justru sekolah-sekolah di kota hampir semuanya sudah merasakan manfaat program ini, namun anak-anak sekolah di daerah-daerah terpencil, di kampung-kampung, di sekolah pinggiran di lereng gunung dan di tepi hutan malah belum merasakan program ini sama sekali.

Dari sisi pemerintah dan sebagian pakar juga menilai bahwa program MBG dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dampak multi-player program ini sangat tinggi. Selain itu, konsekwensi pemangkasan anggaran untuk mendukung pendanaan MBG yang sangat besar juga berdampak mengurangi nafsu korupsi pejabat negara karena “lemak-lemak” anggaran sudah dibuang. Menurut riset di manca negara program memberi makan bergizi kepada anak-anak di sekolah memang secara siginifikan dapat memperkuat daya tahan tubuh, semangat belajar, serta meningkatkan prestasi belajar anak-anak sekolah.

Salah satu isu penting yang menjadi perdebatan publik dalam merespon program MBG ini adalah apakah benar-benar mampu dan memiliki anggaran yang melimpah untuk mendukung program ini. Kemudian, apakah program akan berlanjut selama bertahun-tahun dan kapan akan berakhir. Mengapa tidak sebaiknya angaran yang sangat besar itu digunakan untuk mendorong dengan sungguh-sungguh percepatan industri sehingga menyerap tenaga kerja besar-besaran yang selanjutnya berakibat kuatnya ekonomi masyarakat sehingga mampu menyediakan makan yang layak kepada anak-anak mereka di rumah. Atau pemerintah lebih dulu mengamankan uang negara yang masih banyak disembunyikan para koruptor, sehingga tidak perlu memangkas anggaran kementerian.

Entahlah. Yang jelas gagasan besar yang kemudian menjadi campaign promise dan selanjutnya menjadi program unggulan nasional dalam bentuk MBG harus dipandang sebagai sebuah niat baik dan political will pemerintah untuk menyelesaikan problem pendidikan Indonesia yang kian terpuruk. Namun terlepas dari niat baik dan semangat kasih sayang pemerintah kepada rakyatnya, agaknya kita masih perlu banyak bermuhasabah menghitung kekuatan dan kelemahan diri secara jujur serta berhenti dari segala sifat overconfidence yang tidak produktif. Mari kita belajar dari kasus Nabi Sulaiman.  Wallahu a’lam bi al-shawwab!!!