Refleksitas Kasus Paulus Tannos: Momentum Pembaruan, dan Perjuangan Anti Korupsi

Oleh: Ahmad Usmarwi Kaffah. SH., LL.M., LL.M., PhD
Staf Khusus bidang Luar Negeri Menko Hukum Ham Imigrasi dan Pemasyarakatan
KoranRakyat.co.id —Penangkapan Paulus Tannos di Singapura pada 22 Januari 2025 adalah sebuah panggung baru dalam perjalanan panjang Indonesia melawan wabah korupsi. Tannos, yang telah menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2019, bukan sekadar figur sentral dalam megakorupsi proyek e-KTP, tetapi juga simbol dari penyakit struktural yang merongrong sistem pemerintahan. Dengan kerugian negara yang mencapai Rp2,3 triliun, proyek ini tidak hanya menjadi ironi bagi birokrasi modern, tetapi juga monumen kegagalan dalam menjaga integritas tata kelola negara. Penangkapan ini, meskipun patut diapresiasi, seharusnya dilihat sebagai peluang untuk merenungi dan merekonstruksi sistem yang telah lama rentan.
Tannos, sebagai Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, memegang peran strategis dalam konsorsium pengadaan e-KTP. Namun, peran tersebut tidak digunakan untuk membangun, melainkan untuk merusak. Melalui praktik penggelembungan anggaran dan pembagian dana haram kepada para penguasa dan pengambil keputusan, ia menciptakan celah yang menelanjangi ketidakberdayaan sistem hukum kita. Pelariannya ke luar negeri, yang diperkuat dengan eksploitasi kelemahan sistem administrasi kependudukan dan imigrasi, menjadi cermin yang memantulkan sejauh mana manipulasi dapat terjadi. Klaim memiliki paspor diplomatik hanya menambah ironi pada drama hukum ini, di mana keadilan seakan dipermainkan.
Kasus ini menyoroti cacat mendasar dalam sistem penegakan hukum Indonesia. Buronan seperti Tannos memanfaatkan absennya perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, menunjukkan bagaimana diplomasi hukum kita masih lemah di tengah dinamika global. Di sisi lain, sistem administrasi kependudukan yang tidak kokoh memberi ruang bagi manipulasi identitas, memperumit upaya pelacakan. Lebih dari itu, keberadaan pejabat tinggi dalam lingkaran korupsi ini memperlihatkan betapa dalamnya akar penyakit itu telah menjalar ke struktur kekuasaan.
Namun, di tengah kegelapan itu, ada peluang untuk bangkit. Sebagai institusi strategis yang menjadi poros dalam pengelolaan sektor hukum, hak asasi manusia, imigrasi, dan pemasyarakatan, Kementerian Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan memiliki tanggung jawab besar untuk menjadikan momen ini sebagai titik balik. Momentum ini tidak hanya untuk menghukum mereka yang bersalah, tetapi juga untuk menyusun ulang struktur sistemik yang telah lama rapuh.
Kemenko dapat menggalang kekuatan lintas sektor dengan mendorong kolaborasi yang harmonis antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan Ditjen Imigrasi. Harmonisasi ini bukan hanya soal menyinkronkan kebijakan, tetapi juga menciptakan ekosistem keadilan yang saling melengkapi. Di sisi lain, diplomasi hukum harus bergerak lebih proaktif, menjadikan perjanjian ekstradisi sebagai prioritas. Tanpa jembatan hukum internasional yang kuat, penegakan hukum di era global hanya akan menjadi bayang-bayang kosong tanpa substansi.
Selain itu, reformasi sistem administrasi kependudukan dan imigrasi adalah keniscayaan. Sistem ini harus dirombak dengan memanfaatkan teknologi biometrik yang mampu memastikan integritas data dan mencegah penyalahgunaan identitas. Paspor diplomatik, yang seharusnya menjadi simbol kehormatan, perlu diawasi secara ketat agar tidak digunakan sebagai tameng bagi para pelanggar hukum. Pendekatan ini harus berpadu dengan pengawasan yang menyeluruh untuk memastikan bahwa setiap elemen birokrasi berjalan sesuai prinsip transparansi.
Namun, perjuangan melawan korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada penegakan hukum. Korupsi adalah pertarungan nilai, dan nilai harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari narasi bangsa ini, ditanamkan di sekolah, lingkungan kerja, dan masyarakat. Di samping itu, negara harus memberikan rasa aman kepada para pelapor kejahatan korupsi, sehingga mereka merasa bahwa suara mereka adalah senjata dalam perang melawan kejahatan terorganisir.
Kemenko juga memiliki tugas untuk memastikan bahwa kasus Tannos menjadi preseden dalam penanganan kasus korupsi di masa depan. Proses hukum harus berjalan dengan penuh transparansi, memberikan keadilan tidak hanya bagi negara, tetapi juga bagi rakyat yang telah lama menjadi korban dari sistem yang korup. Penguatan sistem pemasyarakatan juga diperlukan agar keadilan tidak berhenti pada pengadilan, tetapi berlanjut hingga tahap akhir penegakan hukum.
Kasus Paulus Tannos adalah lebih dari sekadar skandal. Ini adalah refleksi tentang bagaimana korupsi menghancurkan fondasi negara, mengguncang kepercayaan masyarakat, dan mengerdilkan harapan masa depan. Namun, penangkapan ini juga memberikan peluang bagi pemerintah untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Dengan komitmen yang teguh dan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan bermartabat.
Penangkapan Tannos adalah sebuah peringatan bahwa keadilan tidak boleh hanya menjadi retorika. Ini adalah panggilan untuk mereformasi, membangun kembali, dan memulai perjalanan baru menuju negara yang bebas dari korupsi. Momentum ini harus dimanfaatkan, bukan sekadar untuk menghukum pelaku, tetapi untuk melindungi masa depan bangsa dari kehancuran yang sama. Sebab, keadilan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan panjang yang harus terus diperjuangkan. (*)