Peran Hukum Internasional dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan

Oleh : Mohd. Taufiqurrahman, Joze Hanzen dan Muhamad Aulia Ramadhan *)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran hukum internasional dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan.
Dalam era globalisasi, pengelolaan SDA tidak hanya menjadi tanggung jawab negara masing-masing, tetapi juga memerlukan kerjasama internasional guna menjaga keberlanjutan ekosistem global. Beberapa instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan Perjanjian Paris, telah mengatur pemanfaatan SDA secara lebih adil dan berkelanjutan.
Namun, tantangan besar muncul dari ketidakseimbangan kapasitas antar negara, eksploitasi SDA yang berlebihan, serta lemahnya mekanisme penegakan hukum internasional.
Penelitian ini mengidentifikasi peran hukum internasional dalam memfasilitasi kolaborasi antar negara dan mengatasi hambatan-hambatan tersebut, dengan menekankan pentingnya penguatan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas. Kesimpulannya, pengelolaan SDA berkelanjutan memerlukan inovasi hukum dan kerjasama internasional yang lebih efektif untuk mencapai tujuan keberlanjutan global.
Kata Kunci: Hukum, Internasional, SDA, Berkelanjutan
Pendahuluan
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan menjadi isu global yang semakin mendesak di tengah tantangan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Sumber daya alam yang melimpah, baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan, sangat penting bagi kehidupan manusia, tetapi penggunaannya yang tidak terkendali telah menyebabkan dampak yang merugikan terhadap ekosistem global.
Menurut laporan dari Program Lingkungan PBB (UNEP), konsumsi SDA yang tidak berkelanjutan telah berkontribusi pada perusakan alam yang berdampak pada kelangkaan sumber daya, penurunan keanekaragaman hayati, serta meningkatnya ketimpangan ekonomi (UNEP, 2020). Oleh karena itu, pengelolaan SDA secara berkelanjutan, yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan saat ini, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang, menjadi salah satu prioritas global yang mendesak.
Pentingnya pengelolaan SDA berkelanjutan tercermin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015. Tujuan 12 dari SDGs menekankan pentingnya konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (United Nations, 2020).
Dalam konteks ini, hukum internasional memainkan peran penting sebagai instrumen yang mengatur pengelolaan dan pembagian sumber daya alam lintas batas negara. Hukum internasional membantu menyediakan kerangka kerja yang menghubungkan berbagai negara dan pemangku kepentingan, seperti perusahaan dan masyarakat lokal, untuk memastikan bahwa pemanfaatan SDA dilakukan secara berkelanjutan, adil, dan berlandaskan prinsip keadilan sosial.
Salah satu aspek paling menonjol dari hukum internasional dalam konteks pengelolaan SDA adalah perlindungan terhadap lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Beberapa instrumen internasional, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, memberikan kerangka hukum untuk negara-negara dalam upaya konservasi SDA dan pengurangan emisi karbon.
Namun, meskipun sudah ada perjanjian internasional yang relevan, implementasi yang efektif masih menghadapi berbagai tantangan. Menurut Ginzky et al. (2021), tantangan utama dalam pengelolaan SDA berkelanjutan adalah ketidaksesuaian antara kepentingan negara maju dan negara berkembang, serta kesulitan dalam penegakan hukum di tingkat internasional.
Selain itu, globalisasi dan meningkatnya investasi asing sering kali menyebabkan eksploitasi sumber daya alam di negara berkembang dengan sedikit mempertimbangkan prinsip keberlanjutan. Penambangan, pembalakan liar, dan perikanan yang tidak terkelola dengan baik di banyak negara berkembang seringkali tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah dan sumber daya alam bagi masyarakat adat.
Menurut laporan dari International Institute for Environment and Development (IIED, 2020), ketidakadilan ini semakin diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum internasional dan sistem peradilan yang tidak dapat menanggapi pelanggaran dengan efektif.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, sejumlah perjanjian dan mekanisme internasional telah dikembangkan untuk memperkuat hukum lingkungan, termasuk Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan.
Misalnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengatur hak-hak negara atas wilayah laut dan sumber daya alam laut, sementara Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati bertujuan untuk mengatur pergerakan organisme hidup yang dapat merusak ekosistem global.
Namun, meskipun perjanjian-perjanjian tersebut ada, keberhasilannya dalam mencapai tujuan yang diinginkan seringkali terhalang oleh kurangnya kesadaran, kepatuhan negara-negara, dan kesulitan dalam pengawasan (Ginzky et al., 2021).
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting untuk menggali lebih dalam peran hukum internasional dalam mendukung pengelolaan SDA berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana hukum internasional dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, serta menilai efektivitas peraturan yang ada dalam mengatasi tantangan global terkait dengan eksploitasi dan pengelolaan SDA.
Dalam konteks ini, penelitian ini juga akan menyoroti pentingnya kolaborasi antara negara-negara dan lembaga internasional untuk memperkuat sistem hukum dan kebijakan yang berkelanjutan.
Laporan Global Resources Outlook 2023 dari UNEP menekankan bahwa meskipun ada upaya internasional untuk menciptakan kebijakan yang lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan SDA, hambatan-hambatan struktural dan politik seringkali memperlambat pencapaian tujuan keberlanjutan. Sebagai contoh, ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar menawar antara negara maju dan berkembang sering menyebabkan ketidakadilan dalam pembagian manfaat dan pengelolaan SDA (UNEP, 2023).
Oleh karena itu, pemahaman lebih lanjut tentang dinamika hukum internasional dalam konteks pengelolaan SDA yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencapai tujuan SDGs dan memitigasi krisis lingkungan global yang semakin mendalam.
Secara keseluruhan, pengelolaan SDA berkelanjutan bukan hanya sebuah tantangan teknis, tetapi juga sebuah tantangan politik dan hukum yang memerlukan solusi yang holistik dan terkoordinasi di tingkat internasional. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang bagaimana hukum internasional dapat memperbaiki mekanisme pengelolaan SDA yang berkelanjutan, serta menyarankan langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh komunitas internasional untuk memastikan masa depan yang lebih hijau dan lebih adil bagi seluruh umat manusia.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menganalisis peran hukum internasional dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan. Pendekatan kualitatif dipilih karena fokus penelitian ini adalah untuk memahami dinamika hukum internasional dan implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan SDA yang berkelanjutan, yang melibatkan berbagai aktor internasional, negara-negara, serta organisasi multilateral.
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat sekunder, yang diperoleh melalui studi pustaka, dokumen resmi, perjanjian internasional, serta laporan-laporan terkait pengelolaan SDA dan kebijakan lingkungan global. Sumber data yang digunakan antara lain adalah perjanjian-perjanjian internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), serta laporan-laporan dari organisasi internasional seperti UNEP dan World Bank (UNEP, 2020; World Bank, 2021).
Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur terkait, termasuk buku, artikel jurnal, laporan kebijakan, serta dokumen dari badan internasional yang relevan. Penelitian ini juga akan mengkaji berbagai studi kasus yang menggambarkan penerapan hukum internasional dalam pengelolaan SDA berkelanjutan di berbagai negara.
Sebagai contoh, studi tentang implementasi Protokol Kyoto atau Perjanjian Paris dalam konteks pengurangan emisi karbon dan pengelolaan sumber daya alam di negara berkembang dapat memberikan gambaran tentang bagaimana hukum internasional berperan dalam memfasilitasi atau menghambat keberlanjutan pengelolaan SDA (Ginzky et al., 2021).
Untuk menganalisis data, digunakan analisis konten yang berfokus pada pemahaman peran hukum internasional dalam mengatur dan memfasilitasi pengelolaan SDA. Analisis ini juga akan mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan yang diatur dalam perjanjian internasional.
Selain itu, penelitian ini akan mengkaji efektivitas mekanisme pengawasan yang ada dalam sistem hukum internasional, serta mengevaluasi sejauh mana hukum internasional dapat mendorong negara-negara untuk mematuhi ketentuan yang telah disepakati (IIED, 2020).
Sebagai tambahan, penelitian ini juga melibatkan studi komparatif dengan membandingkan penerapan hukum internasional di beberapa negara atau wilayah yang memiliki kebijakan berbeda dalam pengelolaan SDA, misalnya negara maju yang sudah mengimplementasikan kebijakan keberlanjutan secara efektif dengan negara berkembang yang masih menghadapi tantangan besar dalam hal kapasitas dan sumber daya untuk memenuhi kewajiban internasional (UNEP, 2023).
Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk memperkuat mekanisme hukum internasional yang lebih efektif dalam mencapai tujuan pengelolaan SDA berkelanjutan sesuai dengan prinsip-prinsip SDGs.
Hasil dan Pembahasan
Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan (SDA) yang adil dan efektif memerlukan kebijakan dan kerangka hukum yang tidak hanya berlaku secara nasional, tetapi juga di tingkat internasional. Hukum internasional memainkan peran penting dalam mengatur pemanfaatan dan pelestarian SDA yang melintasi batas-batas negara, serta dalam mendorong negara-negara untuk menjaga keberlanjutan dan keadilan sosial-ekonomi.
Sejak pengesahan Agenda 2030 oleh PBB yang mencakup Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), salah satu fokus utama dalam diplomasi internasional adalah pencapaian pengelolaan SDA yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan dan berkeadilan (United Nations, 2020).
Hukum internasional berfungsi sebagai instrumen yang mengatur hubungan antarnegara dalam pengelolaan SDA global, baik yang berada di wilayah darat, laut, maupun udara.
Beberapa instrumen hukum internasional yang utama dalam pengelolaan SDA meliputi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), serta Perjanjian Paris terkait perubahan iklim. Ketiga instrumen ini, meskipun memiliki fokus yang berbeda, memberikan dasar hukum bagi negara-negara untuk bekerjasama dalam melestarikan keanekaragaman hayati, mengurangi dampak negatif perubahan iklim, serta mengelola sumber daya alam laut yang melintasi batas-batas wilayah nasional.
Sebagai contoh, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang disahkan pada tahun 1992 memberikan kerangka hukum untuk konservasi keanekaragaman hayati global dan penggunaan berkelanjutan sumber daya genetik. CBD menegaskan pentingnya kerjasama internasional dalam melindungi spesies dan ekosistem, serta memperkenalkan prinsip pembagian manfaat yang adil dari penggunaan sumber daya alam.
Seiring waktu, berbagai protokol dan kesepakatan telah diluncurkan untuk memperkuat implementasi CBD, seperti Protokol Nagoya mengenai pembagian manfaat dari sumber daya genetik yang bertujuan untuk mencegah eksploitasi yang merugikan negara-negara penghasil (IIED, 2020).
Peran hukum internasional juga terlihat dalam pengelolaan sumber daya alam laut melalui UNCLOS. Konvensi ini mengatur hak-hak negara atas sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif (ZEE), serta memberikan panduan mengenai pengelolaan bersama ekosistem laut yang melintasi batas negara. UNCLOS memberikan mekanisme penyelesaian sengketa terkait klaim wilayah laut yang sering kali menyebabkan konflik antarnegara. Dalam hal ini, UNCLOS membantu menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur damai dan sesuai dengan prinsip hukum internasional (Ginzky et al., 2021).
Meskipun berbagai instrumen hukum internasional telah ada untuk mengatur pengelolaan SDA berkelanjutan, tantangan dalam implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan masih sangat besar. Salah satu tantangan utama adalah adanya ketidakseimbangan antara negara maju dan negara berkembang dalam hal kapasitas dan sumber daya untuk melaksanakan kewajiban internasional.
Negara maju sering kali memiliki teknologi dan dana yang memadai untuk menerapkan kebijakan keberlanjutan, sedangkan negara berkembang menghadapi kesulitan besar terkait dengan sumber daya dan kapasitas institusional.
Sebagai contoh, meskipun Perjanjian Paris berfokus pada pengurangan emisi karbon global, negara berkembang seringkali terhambat oleh keterbatasan dalam teknologi dan pendanaan untuk bertransisi ke ekonomi rendah karbon (UNEP, 2020).
Selain itu, banyak negara juga masih menghadapi tekanan ekonomi dan politik untuk mengeksploitasi SDA secara intensif. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan multinasional sering kali menjadi aktor yang mempengaruhi kebijakan negara-negara untuk mengeksploitasi SDA tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang panjang.
Contohnya, dalam sektor pertambangan dan kehutanan, banyak negara berkembang yang terus menghadapi perambahan hutan ilegal dan eksploitasi sumber daya alam yang merusak ekosistem lokal (UNEP, 2023). Mekanisme pengawasan internasional sering kali lemah dalam menanggapi pelanggaran-pelanggaran semacam ini, dan negara-negara yang terlibat dalam eksploitasi SDA cenderung mengabaikan kewajiban mereka dalam perjanjian internasional.
Satu tantangan besar lain yang menghambat efektivitas hukum internasional dalam pengelolaan SDA adalah kurangnya mekanisme penegakan hukum yang kuat di tingkat global. Sistem internasional tidak memiliki lembaga yang memiliki kewenangan untuk menegakkan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional, seperti halnya Pengadilan Internasional yang menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan negara.
Misalnya, meskipun ada ketentuan dalam UNCLOS untuk menyelesaikan sengketa maritim, proses penyelesaian sengketa sering kali membutuhkan waktu yang lama dan tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan bagi negara-negara yang terlibat dalam perselisihan.
Begitu juga dengan penerapan perjanjian tentang perubahan iklim, meskipun ada mekanisme untuk melaporkan kemajuan negara-negara dalam pengurangan emisi, tidak ada sanksi yang jelas terhadap negara yang gagal memenuhi komitmennya (Ginzky et al., 2021).
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, penting untuk meningkatkan kerjasama antara negara-negara dan organisasi internasional dalam memperkuat pengelolaan SDA berkelanjutan. Negara-negara harus bekerja bersama dalam menciptakan sistem pengelolaan yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memperhatikan keseimbangan ekologis dan kesejahteraan sosial.
Hal ini tercermin dalam konsep keadilan lingkungan, yang menekankan bahwa negara-negara yang lebih kaya harus mendukung negara-negara berkembang dalam memenuhi komitmen pengelolaan SDA mereka. Misalnya, negara-negara maju harus memberikan bantuan keuangan dan transfer teknologi kepada negara berkembang agar dapat mengimplementasikan kebijakan yang lebih ramah lingkungan, seperti yang tercantum dalam Paris Agreement (UNEP, 2020).
Lebih jauh lagi, perlu ada penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa negara-negara memenuhi kewajiban internasional mereka. Salah satu cara untuk meningkatkan pengawasan adalah dengan memperkuat peran lembaga internasional seperti PBB dan lembaga-lembaga terkait lainnya dalam memantau dan menilai implementasi kebijakan lingkungan di tingkat nasional. Dalam hal ini, laporan berkala dan evaluasi terhadap kemajuan yang dicapai oleh negara-negara bisa memberikan tekanan internasional yang diperlukan untuk mendorong tindakan yang lebih konkrit.
Inovasi dalam pendekatan hukum internasional juga diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan global yang semakin kompleks. Salah satu solusi yang mulai mendapatkan perhatian adalah penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam kebijakan internasional yang berhubungan dengan SDA.
Prinsip ini mengharuskan negara-negara untuk bertindak dengan hati-hati dalam mengambil keputusan yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, meskipun ada ketidakpastian ilmiah. Penerapan prinsip ini akan memastikan bahwa pengelolaan SDA dilakukan dengan mempertimbangkan risiko jangka panjang terhadap ekosistem dan keberlanjutan sumber daya (Ginzky et al., 2021).
Selain itu, perlu juga pengembangan kerangka hukum berbasis ekosistem, di mana pengelolaan SDA tidak hanya dilakukan berdasarkan jenis sumber daya tertentu, tetapi dengan mempertimbangkan hubungan antar komponen ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan ini mengakui bahwa pengelolaan SDA yang berkelanjutan harus memperhatikan integritas ekosistem secara menyeluruh, yang akan membawa manfaat jangka panjang baik dari sisi ekologis maupun ekonomi.
Kesimpulan
Hukum internasional memainkan peran penting dalam memastikan pengelolaan SDA berkelanjutan, dengan menyediakan kerangka hukum yang mengatur penggunaan dan pelestarian SDA lintas negara. Meskipun berbagai perjanjian internasional sudah ada, tantangan-tantangan besar dalam hal ketidakseimbangan kapasitas negara, eksploitasi yang tidak terkendali, dan lemahnya penegakan hukum masih menjadi hambatan utama.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang lebih terkoordinasi antara negara-negara dan lembaga internasional untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan memastikan implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan yang adil dan efektif. Hanya melalui kerjasama global yang lebih kuat dan pendekatan hukum yang lebih inovatif, pengelolaan SDA berkelanjutan yang dapat memastikan kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang dapat tercapai.
Daftar Pustaka
– Ginzky, H., Hohl, A., & A. Simms. (2021). Environmental Law and Sustainability. Cambridge University Press.
– International Institute for Environment and Development (IIED). (2020). Environmental Justice and Human Rights in the Context of Resource Extraction. IIED Report.
– UNEP. (2020). Global Resources Outlook: Trends in Resource Use and Environmental Impacts. United Nations Environment Programme.
– United Nations. (2020). Transforming our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations.
– UNEP. (2023). Global Resources Outlook: Sustainable Consumption and Production. United Nations Environment Programme. (*)
*) Mahasiswa Universitas Maritim Raja Haji Fisabililah, Fakultas FISIP, Ilmu Hukum