Pengamat : PB NU vs PKB Jadi Konflik Terbesar setelah Era Gus Dur
Surabaya, KoranRakyat.co.id —Perseteruan antara PKB dan PBNU beberapa waktu belakangan mendapat perhatian serius masyarakat bahkan pengamat
Seperti diwartakan Viva.co.id yang mengulas pengamat politik pada Universitas Airlangga Surabaya Dr. Suko Widodo mengatakan perlu adanya komunikasi untuk menyelesaikan konflik antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Harus ada komunikasi politik yang clear. Kalau masing-masing ngotot tidak akan mendapat apa-apa,” kata Suko di Surabaya, Selasa (13/8).
Dia menjelaskan baik PKB dan NU punya sejarah panjang serta mempunyai keterkaitan satu sama lain yang tidak bisa diabaikan.
“Kalau titik awal memang dari dokumen-dokumen yang saya baca lahir di era Gus Dur (Abdurrahman Wahid) kemudian NU bersifat kultural, untuk bermain membuat keputusan negara harus ada organ resmi, muncullah PKB,” ujarnya.
Ternyata Cuaca Berubah
Dalam perjalanannya, muncul konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang sampai sekarang menjadi perdebatan.
Sejak saat itu, menurut Suko, ada semacam hubungan yang tidak terlalu mesra walaupun sebetulnya secara entitas kultural, PKB dan NU itu wataknya sama yakni kalangan Islam yang berada di pedesaan.
“Ketika muncul konflik ini, ini merupakan konflik terbesar kedua setelah dulu Gus Dur. Dulu PKB dengan Gus Dur. Sekarang organisasi dengan organisasi. Pada bertanya: mana ayam, mana telur. Jadi rumit sekali,” ujarnya.
Dia mengemukakan dalam konteks komunikasi politik, saat ini harusnya menjadi titik krisis, di mana diselesaikan dengan negosiasi dan pembicaraan.
“Karena kalau konflik terus yang rugi ya kedua belah pihak. Lapaknya sama, kulturnya sama, banyak orang NU di PKB. Maka harus ada kejelasan,” ucapnya.
Selain itu, jika konflik berlanjut maka yang rugi adalah demokrasi di Indonesia.
Karena Baik NU maupun PKB bagian instrumen dari kekuatan masyarakat yang bisa memberikan solusi terhadap pembangunan.
“Kalau ini konflik terus terjadi krisis partai politik, dan itu tidak bagus bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Harus ada komunikasi politik yang clear. Kalau masing-masing ngotot tidak akan mendapat apa-apa,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum NU Yahya Cholil Staquf mengaku mendapatkan mandat penuh dari Rais Aam PBNU KH Miftachul Ahyar untuk segera memperbaiki PKB.
“Kemarin kiai berkumpul (di pesantren Tebuireng). Mendalami masalah-masalah terkait hubungan PB NU dan PKB,” kata Gus Yahya ketika ditemui wartawan di Kediaman Rais Aam pesantren Miftachussunnah Surabaya, Selasa.
Dari pertemuan ratusan kiai berkumpul di Pesantren Tebuireng tersebut disepakati memberikan “Mandat Tebuireng” kepada Rais Aam NU untuk membenahi PKB.
Setelah mendapatkan “Mandat Tebuireng”, Rais Aam Miftachul Ahyar hari ini memanggil Yahya Cholil Staquf yang kebetulan berada di Surabaya.
“Kemudian saya tadi mendapatkan perintah langsung dari Rais Aam untuk menindaklanjuti laporan dari para kiai,” kata Gus Yahya.
Mengenai langkah apa yang akan dilakukan dalam menghadapi Muktamar PKB, Gus Yahya mengaku akan segera mematangkan rumusannya.
Menurut Gus Yahya, masalah antara PKB dengan PBNU sebenarnya bukanlah masalah baru.
Hubungan yang tidak baik ini sebenarnya telah terjadi dalam 15 tahun terakhir atau sejak PKB dipimpin Muhaimin.
“Ini berlangsung lama sudah lebih dari 15 tahun. Masalah di dalam hubungan PKB dan NU ini sudah lama sekali. Tapi selama ini belum pernah dilakukan upaya-upaya yang masif mengelolanya,” kata Gus Yahya. (*/Sar)