Gema Akademisi dari Salemba: Jokowi Praktikkan Politik Gentong Babi Berwujud Bansos
Jakarta,KoranRakyat.co.id—Sorotan dan kritikan terhadap kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden tidak pernah berhenti.
Kritikan yang muncul tidak hanya muncul dari politikus, tokoh masyarakat, dari kalangan akademisi pun tidak pernah berhenti.
Seperti dilansir WARTAKOTALIVE.COM, Pemerintahan Joko Widodo dinilai melakukan politik gentong babi atau pork barrel politics melalui bantuan sosial.
Hal tersebut dinilai membuat rakyat tidak pernah lepas dari jerat kemiskinan.
Kritik tersebut merupakan salah satu poin penilaian akademik dari para cendekia yang muncul dalam pertemuan para akademisi dari berbagai kampus di Jabodetabek.
Para akademisi menilai hal itu punya implikasi luas bagi kehidupan masyarakat.
“Instrumentalisasi bantuan sosial (pork barrel politics) dengan alasan menopang rakyat miskin nampak seperti pembiaran terhadap kemiskinan,” kata Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti di Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Para akademisi berpandangan, kebijakan pemerintah dalam menghapus kemiskinan seharusnya dilakukan dengan memperluas lapangan kerja di segala bidang, bukan sebatas memberikan bantuan sosial.
Selain itu, pemerintah semestinya juga meningkatkan kapasitas penduduk usia muda dengan memberi akses pendidikan setinggi-tingginya.
“(Agar) memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya,” kata Valina seperti dilansir Kompas.com.
Dalam seruan yang bertajuk Seruan Salemba ini, para akademisi juga mengkritik penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi.
Padahal, konstitusi telah mewajibkan presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan.
“Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisasi yudisial), yang makin meruntuhkan demokrasi,” kata Guru besar UI Sulistyowati Irianto.
Ia menyebutkan, perubahan beragam aturan dan kebijakan menyebabkan melemahnya pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan.
“Yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan, dan obat-obatan,” ujar Sulis.
Para akademisi pun mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menyelidiki dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif.
Hal ini merupakan dalah satu poin dalam Seruan Salemba yang dibacakan oleh para akademisi dalam acara bertajuk “Universitas Memanggil” yang digelar di Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
“Mendukung parlemen (DPR RI) untuk segera bekerja menjalankan fungsi-fungsi menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan,” kata akademisi UNJ, Ubedillah Badrun.
Ubedillah juga menyerukan agar ada reformasi hukum yang transparan dan akuntabel, khususnya atas produk perundang-undangan terkait politik dan pemilu maupun peraturan dan perundangan lain yang berdampak pada hidup orang banyak.
“Serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja,” kata dia.
Pernyataan sikap para akademisi ini bukanlah yang pertama kali terjadi, sebelumnya akademisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga menyatakan sikap serupa lewat Petisi Bulaksumur.
Indeks Demokrasi terjun bebas
Ekonom dan politikus senior, Faisal Basri menyentil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait merosotnya indeks demokrasi Indonesia.
Menurut dia, Indonesia kalah dari Timor Leste hingga Papua Nugini dalam hal demokrasi.
Hal tersebut Faisal sampaikan dalam acara “Temu Ilmiah Guru Besar/Akademisi Se-Jabodetabek” di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
“Ini democracy index kita terjun bebas. V-Dem Democracy Index 2024 melaporkan bahwa ranking Indonesia terjun bebas dari 79 ke 87. Skornya turun dari 0,43 menjadi 0,36 mendekati 0.
Lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste. Terbaru. Kita terbaik di urutan 63, sekarang 87, skornya terbaik 0,53, dibikin sama Jokowi tinggal 0,36,” ujar Faisal.
Faisal menyampaikan, Indonesia pernah menjadi negara dengan demokrasi yang tingkatnya mencapai level tertinggi.
Bahkan, kata dia, Indonesia juga disegani terkait indeks demokrasinya. Dia menilai, semua berubah sejak Jokowi menjadi Presiden.
Bahkan, Faisal menyinggung majunya anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Pilpres 2024.
Faisal menyebut, Gibran yang saat ini sedang unggul menjadi wapres juga bermula dari andil Jokowi yang merusak demokrasi.
“Sekarang kita mingkem, malu membicarakan demokrasi karena sudah dirampok oleh Jokowi. Karena dia tahu demokrasi yang genuine tidak mungkin dinasti politik hadir. Dia harus rusak dulu demokrasi baru Gibran bisa jadi wakil presiden,” tutur dia.
“Apa yang dia lakukan? Dia perlemah institusi-institusi demokrasi, tapi dia enggak punya modal. Apa yang dia lakukan? Dia rangkul para konglomerat, dia ajak dalam kekuasaan, penguasa dan pengusaha berada dalam satu badan, satu badan. Pak Harto enggak (begitu),” ujar Faisal.
Faisal mengatakan, jika penguasa dan pengusaha dipersatukan maka akan menjadi kekuatan yang luar biasa.
Oleh karena itu, kata Faisal, Boy Thohir bisa percaya diri bahwa kekuatan para pengusaha bisa memenangkan Prabowo Subianto.
“Demokrasi mendekati 0, kekayaan alam dirampok. Timah kita habis. Batu bara. Nikel dijual ke China, luar biasa dahsyatnya. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 45 bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bukan kemakmuran Boy Thohir, bukan kemakmuran Luhut Pandjaitan, bukan kemakmuran Airlangga Hartarto, bukan elite-elite,” kata dia.
Faisal menegaskan, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi terus-menerus. Dia mendorong anak muda untuk menghentikan aksi para pengusaha dan penguasa tersebut.(*/Sar)