21 September 2024

Politik Uang Makin Berkembang

Catatan : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan/Pemerhati Politik dan Sosial).

SEJAK Pemilu tahun 2014, politik uang (money politic) sudah sangat marak. Apa penyebabnya? Tentu banyak faktor. Bisa saja karena ekonomi masyarakat yang masih banyak lemah, juga karena mereka yang terpilih kebanyakan “lupa” pada konstituennya setelah duduk di lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD). Sehingga masyarakat “memanfaatkan” saat Caleg sedang butuh mereka.

Selain itu juga karena efek dari pelaksanaan Pilkada secara langsung yang “money politicnya” lebih gila-gilaan. Akibatnya saat ini yang namanya pemilihan dari Pilkades, Pilkada, Pileg, bahkan Pilpres tak bisa luput dari permainan politik uang. Kendati untuk Pilpres tidak sekencang Pilkada dan Pileg. Bahkan “budaya” money politic ini juga sudah merambah pada pemilihan ketua partai dan organisasi.

Hebatnya lagi dalam Kirka siapa yang bakal jadi pemenang atau siapa yang akan terpilih dalam Pemilu, masyarakat melihatnya pada siapa yang punya modal kuat dan memang jor-joran di lapangan. Seorang yang “bodoh” sekalipun, kalau didukung modal kuat akan mengalahkan tokoh yang sekalipun memiliki modal sosial yang kuat. Di masyarakat juga sudah terlanjur men-justice, kalau tidak ada duit atau kalau “getah basah” tidak usah nyalon, atau pun kalau nyalon tidak akan dipilih.

Masyarakat juga beralasan, sekaranglah kalau mau makan duit si calon, karena kalau sudah terpilih mereka akan “lupa”. Kendati “lupa” ini juga ada penyebabnya, antara lain karena si calon bukan terpilih karena dukungan murni, melainkan karena dengan cara membeli suara.

MAKIN MEMBESAR
Besaran money politic juga semakin meningkat, kalau pada Pemilu 2014 masih berkisar Rp 50 ribu – Rp 100 ribu per suara, tapi lima tahun kemudian di tahun 2019 sudah menjadi Rp 100 ribu – Rp 200 ribu per suara. Bahkan pada Pemilu tahun 2024 ini, sudah mencapai Rp 200 ribu – Rp 300 ribu. Bahkan di Dapil yang sempit satu suara bisa mencapai Rp 500 ribu. Bagi si calon memberi di bawah angka ini, cukup riskan untuk terpilih, kecuali tim atau orang yang akan memilih punya hubungan dekat atau berhutang budi dengan si calon.

Makin kencangnya money politic ini, maka effek hilirnya adalah mereka yang lebih berpeluang untuk terpilih tentu yang modal besar yakni orang-orang kaya. Bahkan bisa saja mereka tergabung dalam satu keluarga, apalagi kalau didukung pula oleh kekuasaan. Jangan harap akan terpilih, walau pun si calon tersebut berkualitas, kalau tanpa dukungan dana yang kuat.

Efek hilir lainnya lagi, kalau sudah terpilih maka otomatis yang diprioritaskan adalah pengembalian modal dari pada melaksanakan tugas secara sungguh-sungguh. Karena itu tak heran kita menyaksikan pemandangan para anggota dewan yang melakukan Kunker tanpa henti. Bahkan melakukan “pemerasan” terhadap mitra kerja atau melakukan penyalagunaan dan penyimpangan wewenang. Mungkin Anda pernah mendengar para anggota dewan harus mengembalikan ratusan juta rupiah, karena melakukan penyimpangan dan ditemukan saat audit BPK.

Seorang calon yang memang bertekad untuk terpilih, maka biasanya akan sungguh-sungguh melakukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Mulai dari sosialisasi membuat, memasang, dan menyebar Alat Peraga Sosialisasi dan Kampanye (APS/APK), seperti baleho, spanduk, banner, kalender, kaos, kartu nama serta contoh surat suara. Lalu membentuk tim tiap desa bahkan tiap area TPS, dan bersosialisasi dengan cara menggelar silaturrahmi baik dengan kelompok maupun perorangan, juga membantu keperluan/usulan baik kelompok maupun perorangan. Kegiatan ini tentu sudah membutuhkan sekian banyak biaya. Dan puncaknya menjelang 3 – 1 hari pra pencoblosan, serangan money politic makin bertubi-tubi.

Pemberian uang ini kendati bertubi-tubi dilakukan oleh banyak calon, tapi terkesan silent. Penyerahannya dilakukan oleh tim yang sudah ditunjuk di desa masing-masing.

Biasanya tim sebelumnya sudah mendata siapa yang akan memilih si calon. Tapi kendati tim sudah mendata sedemikian rupa, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi data ganda, artinya seseorang bisa saja masuk data dari tim calon yang berbeda-beda. Karena itu tidak heran berdasarkan catatan misalnya terdata 1.000 orang, yang memilih hanya 300 orang. Karena itu strateginya kalau mau mencari 1.000 suara maka serangan money politic setidaknya dilakukan terhadap 3.000 orang.

Karena itu untuk menjadi calon anggota DPRD besaran biaya yang dikeluarkan berkisar Rp 1 M hingga 2 M bahkan ada yang lebih. Padahal penghasilan yang didapat selama 5 tahun berkisar sekitar Rp 2,5 M, dari sumber yang halal.

Begitulah fakta yang terjadi setiap pesta lima tahunan ini. Ironisnya kendati ada aparat pengawasan seperti Bawaslu, Panwascam, Panwaslap atau Pengawas Desa Kelurahan (PKD), tidak pernah ada calon yang tertangkap tangan. Ada sedikit tim sukses yang dilaporkan, tapi ujung-ujungnya tidak terbukti, karena tim sukses tersebut tidak tercatat di SK.

Karena itu pengawasan Pemilu ini terkesan formalisme saja. Tidak efektif di lapangan. Apakah ini akan dibiarkan seperti ini terus?

Kalau tidak ada pembenahan, maka praktik-praktik money politic ini akan terus berlangsung di setiap Pemilu. Dan efeknya dipastikan buruk terhadap kinerja mereka yang terpilih dengan cara seperti ini.

Karena itu ada baiknya selain pembenahan-pembenahan terhadap lembaga Bawaslu, juga ada baiknya Babinkamtibmas, Babinsa, dan Hansip desa, dijadikan anggota pengawasan Pemilu, tentu dengan syarat-syarat tertentu. Kalau tidak maka setiap Pemilu, Bawaslu dan jajaran ke bawah selalu tak berdaya. (ica)