14 September 2025

Gadis Desa Yang Diperebutkan.

 

Oleh : H Albar S Subari SH.MH

Pengamat Hukum di Palembang

KoranRakyat.co.id —-Judul di atas terinspirasi dengan sebuah film yang berjudul Perawan Desa Di sarang penyamun.

Permisalan tersebut bagaikan satu wilayah kawasan HUTAN.

Dalam kajian ilmu hukum adat dikenal dengan kawasan Tanah Ulayat sebagaimana istilah tersebut di kenal pada masyarakat hukum adat Minangkabau, yang diadopsi menjadi istilah resmi di dalam undang undang pokok agraria yaitu UU nomor 5 tahun 1960 pada Pasal 3.

Di samping itu juga ada keterkaitan dengan Pasal 5 UU no 5 tahun 1960, yang berbunyi Hukum Agraria Berdasarkan Hukum Adat.

Menurut Prof. Budi Harsono, SH dalam bukunya Hukum Agraria, bahwa kedua pasal tersebut di atas menunjukkan makna pembangunan bidang keagrariaan harusnya bernuansa nilai nilai budaya bangsa Indonesia yang sudah lama tumbuh.

Prof. H. Amrah Muslimin SH menggunakan istilah Tanah wilayah. Maksudnya wilayah satu MARGA.

Di bukunya berjudul Sejarah Perkembangan Dusun Marga menjadi desa dan kelurahan, yang diterbitkan tahun 1983, atas permintaan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan saat itu, untuk dijadikan rujukan buat generasi muda menindaklanjuti lahirnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983, tanggal 23 Maret 1983 yang diberlakukan mulai 1 April 1983.

Bahwa jumlah Marga sebelum di hapuskan oleh peraturan perundang-undangan berjumlah 188 Marga dan menjadi desa berjumlah 2190 desa ( lihat halaman pengantar buku ).

Marga dimaksud sebelum lahirnya UU no 5 tahun 1979 yang berdasarkan IGOB ( Peraturan Pemerintah kolonial Belanda untuk luar Jawa dan Madura)

Di Sumatera Selatan adalah berfungsi sebagai sistem pemerintahan dan sistem kesatuan masyarakat hukum adat.

Jadi yang dihapus saat itu adalah marga dalam arti sistem pemerintahan karena tidak sesuai dengan asas nasionalisme ( lihat penjelasan umum UU no 5 tahun 1979)

Sedangkan marga dalam arti kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui ( disebut dengan LEMBAGA ADAT – lihat butir tiga SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142 ).

Dengan keluarnya SK 142 tersebut disusul dengan pengesahan Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat di provinsi Sumatera Selatan sebagai dasar pembuatan peraturan daerah kabupaten dan kota. Seperti Perda kabupaten Muaraenim nomor 7 tahun 2007 tentang Lembaga Adat dan Perda no 9 tahun 2012 di kabupaten Banyuasin. Tentang Eksistensi dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di kabupaten Banyuasin.

Sebagai fungsionaris nya adalah tokok tokoh adat yang di SK kan oleh  masing-masing kabupaten.

Dengan sebutan Pemangku Adat .

Masalah pertanahan ini sebagai mana ilustrasi pada judul banyak kementerian yang mengatur nya antara lain mulai dari kementerian dalam negeri, kementerian kehutanan, kementerian lingkungan hidup, kementerian Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional ATR, dan lain sebagainya sehingga di lapangan terjadi bermacam macam kebijakan kadang kadang menimbulkan persoalan persoalan di lapangan.

Belum lagi dengan masyarakat hukum adat baik terhadap tanah komunitas maupun tanah pengelolaan pribadi yang bersifat sementara ( istilah Prof. Iman Sudiyat SH guru besar ilmu hukum adat dengan istilah ” ngulur mengkerut”.

Bahwa apabila hak komunitas tebal maka hak individual tipis, demikian sebaliknya. Bagaikan gelang karet yang ditarik ulur.

Di sinilah yang penulis maksudkan bahwa tanah bagaikan gadis desa .

Banyak kasus yang dapat kita ikuti dari media massa dan media sosial telah terjadi peristiwa peristiwa yang tidak diharapkan seperti peristiwa pulau Rempang Riau. (*)