“Mawardi Yahya Tampil Oke pada Debat Perdana Cagub Sumsel”
CATATAN : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan/Pemerhati Politik dan Sosial).
“Pak Mawardi Yahya pemenang malam ini. ” Demikian komentar ulama berpengaruh di Sumsel, setelah menyaksikan acara debat perdana calon Gubernur Sumsel, 28 Oktober 2024 lalu.
Tentu komentar tersebut berdasarkan penilaian ulama yang bersangkutan. Bisa dinilai objektif atau mungkin subjektif oleh orang lain. Tapi sebagai ulama, yang bersangkutan telah berupaya melihat jalannya debat secara objektif.
Memang setelah debat cagub perdana ini selesai digelar, banyak komentar bermunculan, dengan penilaian yang berbeda-beda. Penilaian berbeda tersebut bisa karena subjektivitas orang yang menilai, tapi bisa juga terjadi karena tidak ada tolok ukur yang pasti dalam menilai debat. Apalagi penyelenggara debat memang tidak menunjuk tim penilai atas jalannya debat. Sehingga semua orang bisa memberi penilaian sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing.
Jalannya debat dimulai dari penyampaian visi, misi, dan pokok-pokok program dari masing-masing calon gubernur. Pada sesi ini cagub masih didampingi cawagubnya. Dan pada sesi ini juga ketiga cagub tampil relatif sama, yakni dengan membaca point-point misi dan program. Kita semua tahu bahwa bahan kampanye yang berisi visi, misi, dan pokok-pokok program bukan murni hasil karya cagub/cawagub, tapi hasil kerja bersama tim. Karena itu umumnya visi misi program sang Cagub ini baik/bagus.
Dinamika mulai terlihat saat sesi berikutnya, ketika cagub menjawab pertanyaan dan saling menanggapi. Tapi secara umum perdebatan hanya terfokus pada dua hal yakni yang terkait dengan masalah agama (rumah tahfidz) dan ekonomi (peran pihak swasta dalam pembangunan Sumsel).
Disini ada cagub yang berupaya memoles kelemahan program selama menjabat, dengan argumentasi yang teoritis. Padahal fakta yang terjadi berbeda dengan teori /rencana awal. Sebagai contoh, HD menyatakan kehadiran rumah-rumah Tahfiz telah berhasil mengangkat prestasi Sumsel pada MTQ Nasional, setelah sekitar 16 tahun terbenam. Padahal sebetulnya prestasi pada MTQN ini, belum ada kontribusi dari rumah-rumah tahfiz yang umumnya baru berdiri dalam kurun waktu 4-5 tahun belakangan. Mengingat peserta yang tampil di ajang MTQN mayoritas hasil pembinaan pondok-pondok pesantren.
Begitu pula saat perdebatan tentang peran swasta dalam pembangunan Sumsel, yang pada periode pasca H Alex Noerdin, terkesan nihil. Cagub HD berupaya meluruskan bahwa pembangunan 11 stadion sepak bola di kabupaten/kota adalah hasil CSR (Corporate Social Responsibility—Tanggung-ja
wab sosial perusahaan) . Tapi menurut Cagub MY, CSR tersebut adalah sisa dari era gubernur Alex Noerdin, bukan murni era HD.
Begitu pula saat terjadi perdebatan antara cagub ESP dengan cagub HD soal pelabuhan internasional Tanjung Carat. Keduanya saling menyalahkan peran masing-masing. Menurut ESP, dia telah berjuang maksimal di Komisi V DPR RI untuk kelanjutan pembangunan pelabuhan Samudera tersebut. Tapi terhambat karena menurut Menhub RI, gubernur siap membangun dengan dana dari investor. Akibatnya menurut ESP, justru pemerintah pusat membantu membangun pelabuhan di Kalbar.
Namun sebetulnya perdebatan-perdebatan yang terjadi antar cagub ini, masih wajar-wajar saja. Karena masih dalam koridor materi debat dan menyangkut program, tidak mengarah ke masalah pribadi. Hal itu terlihat usai debat ketiganya masih bersalam-salaman. Bahkan ESP dan MY sempat foto bareng, ditemani tim masing-masing.
Yang menarik juga pernyataan cagub pada sesi closing statement. Di sesi ini Mawardi Yahya (MY) mengambil poin dan tampil oke, karena dia memaparkan hasil temuannya selama 6 bulan keliling Sumsel. Menurutnya masih banyak masyarakat yang membutuhkan program sekolah dan berobat gratis, masih berharap jalan yang mulus, masih berharap program ekonomi kerakyatan, serta bantuan untuk pondok pesantren dan desa. Yang semuanya itu menjadi atensi dan masuk dalam visi misi Matahati, cagub – cawagub Sumsel nomor urut 3, ujar Mawardi. (*)