Membaca dan Memahami Gagasan Moderasi H Abdul Malik Karim Amarullah (Buya Hamka)
Prof Dr Abdurrahmansyah MAg
Guru Besar Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang
KoranRakyat.co.id —Ada yang menarik dari materi disertasi yang ditulis Dr. Akwam dan dipertahankan di depan majelis sidang promosi doktor pada Pascasarjana UIN Raden Fatah beberapa waktu lalu. Tema yang diangkat adalah relevansi gagasan pendidikan karakter Buya Hamka terhadap fenomena pendidikan budi pekerti di Indonesia. Sebagai ulama besar dan sangat mumpuni Buya Hamka layak diapresiasi terutama terhadap berbagai karya ilmiah dan sastra yang beliau tulis, khususnya kitab Tafsir al-Azhar.
Melalui telaah dengan pendekatan riset tematik (maudhu’i) terhadap tafsir al-Azhar, promovendus berhasil mengidentifikasi nilai-nilai Islamic character yang dikembangkan Buya Hamka melalui ceramah-ceramah rutin beliau di masjid al-Azhar Jakarta. Hamka sebagai ulama yang menjadi uswah (role models/teladan) umat Islam sangat sadar pentingnya akhlak dan budi pekerti untuk diajarkan sekaligus diwariskan kepada generasi penerus melalui proses pendidikan. Salah satu karakter yang ditekankan Hamka adalah sifat berani dan semangat juang tinggi. Namun justru kedua karakter tersebut tidak ada dalam 18 ciri karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan Nasional saat ini.
Menarik mendiskusikan gagasan pendidikan karakter toleransi yang menurut Hamka sangat penting dididikkan kepada peserta didik. Hamka mendorong umat Islam untuk memahami secara benar konsep dan implementasi sikap toleransi. Dinamika dan benturan logika yang cukup menarik muncul ketika mendiskusikan gagasan Hamka tentang isu-isu toleransi dan moderasi dikaitkan dengan wacana Islam wasathiyah (keseimbangan/garis tengah), gagasan tentang ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa) dan ide-ide mengenai ukhuwah bashariyah (persaudaraan sesama manusia).
Membaca Gagasan Moderasi Hamka
Mengacu pada narasi yang dibangun oleh Kementerian Agama, moderasi beragama dimaknai sebagai sikap, cara pandang, dan praktik beragama yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan dan kemaslahatan sesuai konsep Pancasila. Moderasi beragam bertujuan untuk saling berdamai, empati, dan saling menghargai setiap perbedaan keyakinan. Tetapi kenyataannya menjadi cukup sulit untuk menyepakati batas urusan aqidah dan urusan muamalah dalam satu kasus interaksi. Sebagai misal, untuk menentukan apakah hukum mengucapkan “selamat natal” kepada umat Nasrani itu termasuk perbuatan haram atau mubah. Bagi Hamka sudah final bahwa mengucapkan selamat natal adalah haram karena menyangkut dimensi aqidah. Pandangan Hamka mengenai keharaman mengucapkan selamat natal disetujui beberapa ulama seperti Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Habib Yahya Zainul Ma’arif, Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, dan Adi Hidayat.
Bagi sebagian ulama mengucapkan selamat natal justru dianggap sebagai perbuatan ma’ruf dan kebaikan karena menggembirakan sesama manusia. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu akidah terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal. Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, dan Said Aqil Sirodj.
Secara naqliyah kedua pandangan di atas memiliki dasar hukum yang sama-sama jelas. Persoalannya adalah dari kedua pandangan itu, lalu pandangan mana yang lebih produktif untuk membangun wawasan keislaman yang bersifat seimbang (wasathiyah) dan membentuk mentalitas umat untuk saling menghargai sesama anak bangsa dalam ikatan ukhuwah wathaniyyah.
Karena cara pandang Hamka yang cukup berbeda dengan cara pandang beberapa ulama nusantara dalam melihat dan memahami artikulasi sikap toleransi ini, maka Hamka sering dikritik sebagai ulama yang kurang mengedapankan wawasan Islam wasathiyah dan tidak menjadikan isu ukhuwah wathaniyyah sebagai wacana penting di tengah-tengah fakta kebhinnekaan dan pluralitas di Indonesia. Hamka sering dibandingkan dengan ulama-ulama nusantara seperti KH. Ahmad Shiddiq (1926-1991) yang menggagas Trilogi Ukhuwah yakni Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Namun demikian, menuduh Hamka sebagai ulama anti ke-Indonesiaan dan tidak memiliki rasa cinta tanah air adalah tuduhan absurd, karena sejatinya Hamka sangat gigih mengumandangkan semangat kemerdekaan melalui tulisan-tulisan dan konten dakwahnya. Selain itu, gelar sebagai pahlawan nasional adalah apresiasi tinggi terhadap semangat juang dan konsistensi perjuangan Hamka untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Perbedaan gagasan tentang isu-isu ke-Indonesiaan dan ke-Islaman antara Soekarno dan Hamka telah melahirkan mufaraqah yang berakhir dengan vonis penjara terhadap Hamka di masa Orde Lama.
Membaca sosok Hamka sesungguhnya tidak terlalu mudah karena ada seribu wajah dari pigure seorang Hamka. Dari sisi tradisi keilmuan agama, Hamka lahir dari tradisi nalar tradisional dan nalar modern sekaligus. Kakeknya seorang mursyid thariqah Naqsabansiyah dan ayahnya seorang yang “tercerahkan” oleh pemikiran pembaruan Islam semenjak belajar di Mekkah yang kemudian dikembangkannya di Sumatera Barat. Faktor kondisi Indonesia saat itu yang masih di bawah penetrasi penjajah dan tarik menarik ideoogi kiri yang cemderung memusuhi agama sedikit banyak membentuk karakter dan corak pemikiran Hamka dalam memandang isu-isu ke-Indonesiaan dan ke-Islaman.
Secara metodologis, memang gagasan dan pola pikir seseorang akan sangat dipengaruhi oleh social setting dan latar belakang pendidikannya. Sebagai santri dan ulama Hamka cenderung memiliki riwayat yang homogen dari sisi latar belakang sosial dan pendidikan. Hamka memiliki literasi yang kuat dari tradisi turats. Pengalaman hidup secara sosial cenderung kurang beragam jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain seperti Gus Dur dan Qurays Shihab yang banyak berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki beragam latar belakang.
Menurut hemat saya, memang agak berat untuk membangun sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling melayani sebagai sesama anak bangsa jika wawasan (insigt) mengenai muamalah dicampuradukkan dengan isu-isu keyakinan. Misalnya untuk tersenyum tulus dengan orang yang berbeda agama justru dianggap sebagai wilayah sakral. Atau sekedar mencium kening seorang tokoh agama sebagai bentuk penghormatan justru dianggap sebagai persetujuan atas keyakinan seseorang. Lalu apakah kita harus membuang muka dan menarik tangan kita ketika ada seseorang yang beragama lain yang ingin mencium tangan kita sekedar sebagai bentuk artikulasi rasa kasih sayangnya. Bagi saya inilah dimensi kemanusiaan universal yang perlu ditumbuh semaikan kepada generasi bangsa ini.
Negeri ini sudah terlalu lelah dengan beban berat sebagai bangsa yang sarat dengan perbedaan (diversity). Sungguh sangat tidak produktif jika perbedaan itu terus menerus diperuncing dengan menghilangkan rasa persaudaraan sebagai bangsa dan sebagai bani Adam. Hamka adalah sosok terpelajar yang sudah berbuat untuk bangsa ini dalam ruang dan waktu pada zamannya. Kondisi bangsa dijajah memang harus mempertegas garis demarkasi dan Hamka telah membuat garis itu dengan benar. Dan ketika negeri ini sudah damai dan tenteram maka tugas kita semua yang harus menghilangkan demarkasi primordial dan fanatisme sempit untuk kemudian belajar hidup bersama (learning to live together). Wallahu a’lam bi al-Shawwab.