Kesejahteraan Wartawan Tantangan yang Harus Dimainkan PWI
Oleh : Drs H Iklim Cahya, MM (Wartawan/ Penasihat PWI Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel)
SEJAK Reformasi 1998 lebih-lebih semenjak era digital beberapa tahun belakangan, jumlah media dan wartawan meningkat luar biasa. Baik itu media cetak, elektronik dan terutama media online. Kendati untuk media cetak sudah masuk usia senja kala, terutama media-media besar sudah banyak yang berhenti terbit, atau tetap cetak tapi bentuk online.
Di semua daerah, provinsi, kabupaten dan kota, jumlah media dan wartawan yang bertugas sudah over kapasitas. Sebagai contoh di Kabupaten Ogan Ilir (OI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), setidaknya ada 100 wartawan yang mangkal/bertugas di Bumi Caram Seguguk ini.
Pernah suatu waktu Kapolres OI mengundang wartawan untuk silaturrahmi. Saat itu sekitar 80 orang wartawan yang hadir. Dan masih ada sejumlah lagi yang tidak hadir, termasuk saya yang saat ini menulis untuk media “Koran Rakyat Co.” Artinya wartawan yang bertugas dan memang mangkal di OI lebih dari 80 orang. Saat ini para wartawan atau disebut juga Jurnalis atau Reporter yang bertugas di OI, tergabung dalam beberapa organisasi wartawan seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang saat ini dipimpin Fredi Kurniawan, Ikatan Wartawan Online (IWO) yang diketuai Adiwinata, serta Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO-I) yang diketuai Yasandi. Selain itu ada beberapa wartawan elektronik yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Sumsel .
Dari hasil verifikasi dan validasi Bidang Organisasi PWI OI, jumlah wartawan yang tergabung dalam PWI OI sebanyak 59 orang. Baik yang berstatus anggota biasa maupun anggota muda. Baik yang sudah memiliki sertifikat UKW (Uji Kompetensi Wartawan) maupun yang belum.
Persoalan yang dirasakan oleh banyak wartawan saat ini adalah masalah kesejahteraan yang masih minim. Dari sekian banyak mereka yang berprofesi wartawan, baik tergabung dalam PWI maupun organisasi pers lainnya, masalah kesejahteraan/ekonomi inilah yang mengemuka dan menjadi titik krusial dalam menjaga marwah profesi ini. Profesi wartawan termasuk cukup “mulia”, karenanya pernah disebut “ratu dunia.” Tapi bisa saja kalau masalah krusial tersebut tidak tertangani dengan baik, bisa menjadi “racun dunia.”
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam faktanya ada wartawan yang bekerja pada media yang bonafit, sehingga mendapatkan gaji/honor memadai, ada juga yang mendapat penghasilan berdasarkan berita yang dimuat medianya. Selain itu juga ada wartawan yang sekaligus menjadi owner media tersebut. Biasanya kalau media tersebut banyak mendapatkan Adv ( advertorial) atau iklan, masalah kesejahteraannya dapat tertanggulangi. Tapi bagi wartawan yang tidak memiliki penghasilan tetap, atau tidak mendapatkan porsi iklan yang memadai, maka problem kesejahteraan itu muncul.
Disinilah sering kali terdengar keluhan dari masyarakat/narasumber terutama dari kalangan pejabat mulai dari pejabat tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa/kelurahan. Juga dari para kepala sekolah semua tingkatan, dan kepala Puskesmas serta instansi lainnya. Keluhan mereka senada, yakni seringnya para wartawan yang datang yang ujungnya dengan berbagai alasan minta duit, dan bahkan ada yang “ngagangi” atau mendagangkan berita atau hal lainnya. Walau prilaku tersebut tidak dilakukan semua wartawan, atau hanya dilakukan oleh oknum, tapi tetap mencoreng profesi tersebut.
Sebetulnya masalah kesejahteraan wartawan tersebut titik beratnya menjadi tanggung jawab pimpinan media tempat wartawan tersebut bekerja. Tapi karena kondisi dunia pers saat ini sudah over kapasitas, maka sulit juga mengharapkan tanggungjawab ini sepenuhnya dari pimpinan media bersangkutan.
Lalu bagaimana cara wartawan, supaya tetap bisa eksis, dan mendapatkan penghasilan yang memadai? Diantara jalan yang bisa dilakukan, wartawan tersebut harus memiliki usaha lain yang bisa menghasilkan, misalnya berdagang, jadi konsultan atau biro jasa dan lainnya yang dimungkinkan oleh aturan profesi dan aturan organisasi yang menaunginya. Usaha tersebut bisa juga didelegasikan kepada orang lain, misalnya dengan keluarga, atau sifatnya hanya menanam saham saja, sehingga tidak mengganggu tugas sebagai wartawan. Selain itu juga bisa dengan pola mengatur waktu dengan baik, supaya profesi dan usaha tersebut tetap bisa berjalan seiring. Perlu dicatat bahwa seorang wartawan hanya tidak boleh merangkap sebagai PNS/ASN, dan TNI/Polri, di luar itu masih dimungkinkan. Kecuali media/perusahaannya yang melarang atau tidak membolehkan rangkap dengan pekerjaan lain.
Nah bagaimana dengan organisasi profesi tempat wartawan tersebut bernaung? Sebut saja misalnya PWI. Menurut saya disinilah peran PWI yang harus dimainkan.
PWI memang tidak terlalu bertanggung jawab dengan kesejahteraan anggotanya. Peran PWI lebih kepada meningkatkan kapasitas, kompetensi, dan kapabilitas anggotanya, sehingga mampu menjadi wartawan profesional. Baik profesional dalam mencari berita, menulis dan menyajikan berita, yang tidak bertentangan dengan UU Pokok Pers Kode Etik Jurnalistik dan Kode Prilaku Wartawan. Artinya wartawan dalam mencari/meliput berita harus tetap memegang etika dan moral, dan dalam menyajikan tanpa salah tulis, memenuhi azas 5W + 1H, berimbang (cover both side), didukung data dan fakta serta narasumber berkompeten, dan tidak mencampur adukkan fakta dan opini.
Selain itu juga tugas PWI adalah melakukan pembelaan terhadap wartawan yang menempuh permasalahan dalam menjalankan tugas dan profesinya.
Namun dalam kondisi seperti sekarang ini, PWI menurut saya mau tidak mau harus turun tangan mencarikan jalan/solusi terhadap kesejahteraan wartawan ini, tentu terhadap mereka yang tergabung sebagai anggotanya. Upaya tersebut tentulah pula tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum.
Diantara yang perlu dan bisa dilakukan oleh PWI, diantaranya adalah melakukan pemetaan terhadap kondisi media. Media-media yang masih bisa berkembang ke arah survive harus terus mendapatkan pembinaan dan pendampingan manajemen, sehingga bisa mendapatkan “kue” iklan atau penghasilan bentuk lain yang halal dan terhormat. Namun bagi media-media yang sudah seperti kerakap tumbuh di batu, sebaiknya direkomendasikan ditutup saja dari pada merusak profesi.
Kemudian upaya lain adalah PWI membentuk/mengupayakan badan usaha yang bisa membantu menambah penghasilan bagi wartawan anggotanya. Bentuk usaha tersebut bisa berwujud Koperasi, Yayasan maupun Kelompok Usaha lainnya.
Supaya usaha ini bisa berjalan secara baik dan profesional, PWI bisa bekerjasama dengan para profesional/pihak lainnya.
Karena itu diperlukan persiapan secara matang yang menyangkut hal-hal teknis, seperti penyiapan SDM yang tepat, sistem manajemen, sistem permodalan dan lain-lain, supaya bentuk usaha yang akan dilakoni bisa berhasil, tanpa memunculkan masalah baru.
Kelihatannya para Pimpinan PWI dari pusat hingga ke daerah, tidak boleh berdiam diri atas permasalahan yang terkait dengan kesejahteraan wartawan tersebut. Supaya kondisi pers nasional dan di daerah, bisa sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tidak menjadi beban pemerintah dan masyarakat, akibat ketidakprofesionalan para wartawan yang katanya “Ratu Dunia”.
Kalau PWI tidak mampu memainkan peran yang bisa memberikan nilai tambah ekonomi bagi anggotanya, maka tugas PWI untuk menjaga marwah profesi ini akan semakin berat.
(Tulisan ini dibuat menyongsong Kongres PWI tahun 2023 di Bandung, dari sudut kacamata daerah. Sebagai masukan untuk Ketua PWI Pusat mendatang, dan juga untuk Ketua-Ketua PWI daerah).